Begitu pendapat dari peneliti Stimson Center, Barbara Slavin, lewat tulisan opini bertajuk
"China shows its constructive side by brokering a deal between Iran & Saudi Arabia" pada Jumat (10/3).
Di tengah kesibukan negara Barat dalam mencapai perdamaian di Ukraina, China hadir dengan gagasan yang sama di wilayah Teluk untuk menengahi konflik politik berkepanjangan antara Iran dan Saudi.
Menurut Barbara, peran China sebagai mediator juga memperlihatkan keunggulan diplomasinya dibanding AS yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Iran sejak 1980.
Keputusan menjadikan China sebagai penengah pada Jumat (10/3) tidak hanya mengurangi persepsi tentang kekuatan AS, tetapi juga dinilai mampu membawa perubahan besar bagi konflik di Timur Tengah.
Jika Iran dan Arab Saudi menindaklanjuti janji mereka dan memulihkan hubungan diplomatik dalam dua bulan ke depan, maka akan membantu memperkuat gencatan senjata dalam perang saudara brutal Yaman dan menguntungkan konflik regional lainnya.
Itu juga dinilai dapat membantu meningkatkan ekonomi Lebanon yang terpukul, juga membawa manfaat bagi Irak dan Suriah.
Pemulihan hubungan Iran dan Saudi juga diperkirakan akan membuat oposisi Teheran di luar negeri, Mujaheddin-e Khalq, merasa kecewa dengan langkah tersebut.
Pasalnya, aliran dana Saudi kepada mereka bisa jadi mengalami pengurangan yang cukup signifikan.
Selain itu, jika China melanjutkan langkah konstruktifnya di Iran dan mendorong kembalinya kesepakatan nuklir, itu tidak hanya berdampak pada peningkatan hubungan ekonomi Beijing-Teheran, tetapi juga akan mengurangi kekhawatiran tentang proliferasi nuklir regional Saudi.
Teheran dan Riyadh telah berselisih sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979. Keduanya saling menuduh mencampuri urusan dalam negeri satu sama lain dengan mendukung aktor nonnegara seperti Yaman.
Sementara China mulai menjadi pemain penting di kawasan teluk, setelah membeli minyak mentah Iran dalam jumlah yang signifikan yang kala itu sedang dijatuhi sanksi ekonomi oleh AS.
BERITA TERKAIT: