Afghanistan kembali menjadi tempat yang sangat berbahaya bagi wanita. Bahkan sebelum jatuhnya Kabul ke tangan Taliban pada Minggu (15/8) lalu, telah banyak muncul laporan soal kekerasan yang memaksa ratusan ribu orang angkat kaki dari rumah mereka di sejumlah wilayah di Afghanistan.
Badan Pengungsi PBB mengatakan sekitar 80 persen dari mereka yang melarikan diri sejak akhir Mei lalu adalah wanita dan anak-anak.
Mimpi Buruk Wanita Afghanistan Taliban pernah menguasai Afghanistan pada tahun 1996. Pada masa itu, mereka menegakkan aturan yang keras mengikuti interpretasi ketat mereka terhadap hukum Islam.
Interpretasi semacam itu juga diterapkan dengan kuat kepada kaum wanita. Sebagai contoh, di bawah pemerintahan mereka, para wanita harus menutupi diri dan hanya diperkenankan meninggalkan rumah dengan ditemani kerabat laki-laki.
Bukan hanya itu, Taliban juga melarang anak perempuan untuk pergi ke sekolah atau bekerja di luar rumah. Wanita juga dilarang untuk memberikan suara dalam pemilihan.
Jika melanggar aturan, hukuman berat menanti mereka, seperti dipukuli, dicambuk bahkan hingga dirajam sampai mati jika terbukti melakukan perzinahan.
Invasi AS 2001, Titik Balik Kemajuan Hak Wanita Kondisi itu kemudian mengalami titik baliknya ketika kekuasaan Taliban runtuh akibat invasi Amerika Serikat ke Afghanistan tahun 2001 silam. Wanita dan anak perempuan memiliki hak yang lebih besar untuk mengambil peranan publik dan mengekspresikan diri. Sejak saat itu, wanita mulai muncul dan mengambil peranan strategis seperti dutabesar, menteri, gubernur, dan anggota polisi hingga pasukan keamanan.
Lalu pada tahun 2003, pemerintah baru Afghanistan saat itu meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, yang mengharuskan negara-negara untuk memasukkan kesetaraan gender ke dalam hukum domestik mereka. Hal ini kemudian diadopsi dalam sejumlah legal hukum di Afghanistan.
Tertuang pada konstitusi Afghanistan 2004, terdapat pasal yang menyatakan bahwa “warga Afghanistan, pria dan wanita, memiliki hak dan kewajiban yang sama di depan hukumâ€. Selain itu, pada tahun 2009 juga diperkenalkan undang-undang untuk melindungi perempuan dari pernikahan paksa dan di bawah umur, serta kekerasan.
Aturan-aturan semacam itu membawa angin segar bagi kesetaraan hak dan kewajiban wanita di mata hukum Afghanistan. Menurut Human Rights Watch, undang-undang tersebut melihat peningkatan dalam pelaporan serta investigasi terkait dengan kejahatan dan kekerasan terhadap wanita dan anak perempuan.
Di sektor pendidikan, pasca 2001, wanita dan anak perempuan bisa kembali mengenyam pendidikan di sekolah bahkan hingga ke tingkat perguruan tinggi. Meski begitu, masih ada catatan, karena perkembangan itu berjalan lambat dan kurang stabil. Mengutip
The Conversation, UNICEF melaporkan bahwa dari 3,7 juta anak Afghanistan yang putus sekolah, sekitar 60 persen di antaranya adalah anak perempuan.
Mundur 20 Tahun Kini, ketika Taliban berhasil menguasai Afghanistan pasca negara itu ditinggal oleh pasukan Amerika Serikat, ketakutan soal pembatasan ketat bagi wanta kembali muncul. Sebenarnya, secara resmi para pemimpin Taliban pernah mengatakan dalam sejumlah forum perbincangan damai bahwa mereka ingin memberikan hak-hak wanita menurut Islam. Namun hal ini disambut dengan skeptisisme besar, termasuk oleh para pemimpin wanita di Afghanistan.
Bukan tanpa alasan, pasalnya Taliban telah menunjukan indikasi bahwa mereka akan menerapkan kembali rezim represif mereka. Pada bulan Juli lalu, PBB melaporkan jumlah wanita dan anak perempuan yang terbunuh dan terluka dalam enam bulan pertama tahun ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Bahkan di sejumlah daerah yang dikendalikan Taliban, anak perempuan dilarang bersekolah dan kebebasan bergerak mereka dibatasi. Ada juga laporan tentang pernikahan paksa pada anak perempuan.
Laporan lain yang dipublikasikan
ABC News menyebut bahwa ketika Taliban menguasai provinsi Badakhshan dan Takhar, awal Juli lalu, mereka mengeluarkan perintah kepada para pemimpin agama setempat untuk memberi mereka daftar anak perempuan di atas usia 15 tahun dan janda di bawah usia 45 tahun untuk “menikah†dengan para gerilyawan Taliban.
Dalam sejumlah kasus pernikahan paksa yang terjadi di bawah kekuasaan Taliban, wanita dan anak perempuan akan dibawa ke Waziristan di Pakistan untuk dididik kembali dan diubah menjadi "Islam asli".
Indikasi lain akan pelecehan hak wanita Afghanistan terlihat ketika Taliban mulai masif bergerak dan melancarkan serangan ke sejumlah wilayah sejak Juli lalu untuk merebut kekuasaan. Seperti sebuah laporan yang dimuat
Reuters awal pekan ini yang mengungkap bahwa ketika Taliban merebut Kandahar, gerilyawan dari kelompok itu masuk ke kantor Azizi Bank di selatan kota. Mereka memerintahkan para pekerja wanita di sana untuk pergi.
Bahkan gerilyawan bersenjata itu mengawal para wanita hingga pulang ke rumah mereka dan menyuruh mereka untuk tidak kembali ke pekerjaan mereka. Sebaliknya, mereka menjelaskan bahwa kerabat laki-laki dapat menggantikan mereka.
"Sungguh aneh tidak diizinkan bekerja, tapi sekarang begini," kata seorang wanita berusia 43 tahun yang pernah bekerja di departemen akun bank, Noor Khatera, mengatakan kepada
Reuters.
"Saya belajar bahasa Inggris sendiri dan bahkan belajar cara mengoperasikan komputer, tetapi sekarang saya harus mencari tempat di mana saya bisa bekerja dengan lebih banyak wanita di sekitar," sambungnya.
Sementara itu, kembalinya Taliban di kekuasaan Afghanistan juga ditakutkan akan menjadi kemunduran bagi wanita yang menikmati kebebasan sejak 20 tahun terakhir. Ketakutan itu dituliskan oleh seorang wanita Afghanistan anonim di
The Guardian.
"Bahwa setelah 20 tahun memperjuangkan hak dan kebebasan kita, kita harus berburu burqa dan menyembunyikan identitas kita," tulisnya.
"Banyak warga Afghanistan marah dengan kembalinya Taliban dan apa yang mereka lihat sebagai pengabaian mereka oleh komunitas internasional. Ada protes di jalan-jalan. Wanita bahkan mengangkat senjata dalam pertunjukan pembangkangan yang langka," sambungnya.
Kekhawatiran serupa juga diungkapkan oleh wartawan wanita di Afghanistan, Sodaba Heari. Dia khawatir penarikan pasukan Amerika Serikat dan kembalinya Taliban akan membuat profesional wanita seperti dia kehilangan lebih dari sekedar pekerjaan mereka.
BERITA TERKAIT: