Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) merupakan kesepakatan yang ditandatangani oleh lima negara anggota permanen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Jerman pada 2015 untuk mengendalikan pengembangan nuklir Iran.
Namun Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut, untuk menghidupkan kembali JCPOA maka diperlukan kehadiran Arab Saudi. Hal itu tidak diterima oleh Iran.
"Kesepakatan nuklir adalah perjanjian internasional multilateral yang diratifikasi oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB 2231, yang tidak dapat dinegosiasikan dan pihak-pihak di dalamnya jelas dan tidak dapat diubah," tegas jurubicara Kementerian Luar Negeri Iran, Saeed Khatibzadeh pada Sabtu (30/1).
Dikutip dari
Al Jazeera, Khatibzadeh mengatakan Macron harus bisa mengendalikan diri.
"Jika para pejabat Prancis khawatir tentang penjualan senjata mereka yang besar ke negara-negara Teluk Arab, mereka lebih baik mempertimbangkan kembali kebijakan mereka," ujarnya.
"Senjata Prancis, bersama dengan senjata Barat lainnya, tidak hanya menyebabkan pembantaian ribuan orang Yaman, tetapi juga menjadi penyebab utama ketidakstabilan kawasan," tambahnya.
Setelah mantan Presiden Donald Trump mengeluarkan Amerika Serikat (AS) dari kesepakatan pada 2018, Iran mulai kembali mengembangkan aktivitas pengayaan uraniumnya. Di sisi lain, Trump juga memberlakukan kebijakan tekanan maksimum yang memberatkan Iran.
Pemerintahan baru Presiden Joe Biden telah menyatakan niat untuk bergabung kembali dengan JCPOA jika Iran telah mematuhi kembali persyaratan.
Namun Iran telah menolak tuntutan AS sebelum Washington mencabut sanksi terhadap Teheran.
Seiring dengan proses tersebut, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA) mengatakan negara-negara Teluk Arab harus terlibat dalam setiap pembicaraan. Mereka juga mendesak agar negosiasi bukan hanya meliputi program nuklir, tetapi juga program rudal balistik Iran.
BERITA TERKAIT: