RUU tersebut, yang disahkan pada hari Rabu (7/3), juga akan berlaku dalam kasus dimana status tempat tinggal diperoleh berdasarkan informasi palsu, dan dalam kasus di mana seseorang melakukan tindak pidana dalam pandangan Kementerian Dalam Negeri.
Di bawah UU baru ini, Menteri Dalam Negeri Israel Aryeh Deri yang juga adalah pemimpin partai politik ultra-Ortodoks, Shas, akan dapat mencabut dokumen residensi dari orang Palestina yang dia anggap sebagai ancaman.
Menanggapi hal tersebut, Hanan Ashrawi, anggota senior Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), menggambarkan undang-undang tersebut sebagai undang-undang legislasi yang sangat rasis.
"Dengan secara tidak etis melucuti residensi warga Palestina dari Yerusalem dan merampas hak-hak orang-orang Palestina untuk tetap tinggal di kota mereka sendiri, pemerintah Israel bertindak dalam pembangkangan hukum internasional dan melanggar hukum hak asasi manusia dan kemanusiaan internasional," kata Ashrawi seperti dimuat
Al Jazeera.
Meskipun Israel mengklaim bahwa wilayah Yerusalem Timur adalah bagian dari wilayahnya, tapi juga ada warga Palestina yang tinggal di wilayah ini namun tidak memiliki kewarganegaraan Israel.
Warga Palestina di kota itu diberi kartu identitas "residensi tetap" dan paspor Yordania sementara yang hanya digunakan untuk tujuan perjalanan. Mereka yang tinggal di wilayah itu pada dasarnya tidak memiliki kewarganegaraan dan terjebak dalam status hukum yang rumit karena mereka bukan warga negara Israel dan juga bukan warga Yordania atau Palestina.
RUU baru tersebut hanya akan memperburuk kondisi sulit bagi 420.000 warga Palestina yang tinggal di Yerusalem Timur yang diduduki. Mereka diperlakukan sebagai imigran asing oleh Israel.
[mel]
BERITA TERKAIT: