Keberhasilan Petro Bikin AS Intensifkan Perang Non-konvensional Terhadap Venezuela

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/amelia-fitriani-1'>AMELIA FITRIANI</a>
LAPORAN: AMELIA FITRIANI
  • Senin, 05 Maret 2018, 13:45 WIB
Keberhasilan Petro Bikin AS Intensifkan Perang Non-konvensional Terhadap Venezuela
Petro/Net
rmol news logo Amerika Serikat diketahui mengintensifkan perang non-konvensional terhadap Venezuela selama beberapa waktu terakhir. Hal itu tak lain bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Venezuela yang dipimpin oleh Presiden Nicolas Maduro.

Seorang antropolog yang juga merupakan penulis Venezuela, Jose Negron Valera dalam opininya di Mundo Sputnik News menulis bahwa  Amerika Serikat tampak memanfaatkan penggunaan perang muldimensi dengan memanfaatkan kerentanan psikologis, ekonomim, militer dan politik Venezuela.

Taktik yang digunakan bervariasi dan puncaknya adalah jelang masa pemilihan umum presiden awal yang akan digelar di Venezuela Mei mendatang.

Amerika Serikat, menurut Jose dalam tulisannya, memperkuat langkahnya untuk menghentikan keberhasilan el petro atau lebih dikenal dengan nama petro, yakni mata uang digital atau kripto yang baru dirilis oleh pemerintah Venezuela.

Kripto, yang dalam masa pra-penjualannya mendapat respon positif dari pasar, digunakan oleh pemerintah Venezuela sebagai alternatif untuk menangani sanksi ekonomi yang dijatuhkan Amerika Serikat terhadpa Venezuela. Tujuan dari kripto ini sendiri adalah untuk menjadi salah satu solusi kebuntuan ekonomi Venezuela.

Respon positif pasar internasional atas kripto ini tentu memberikan dampak positif dalam pemilu presiden yang menguntungkan Maduro sebagai calon incumbent yang kembali maju untuk merebut kursi nomor satu Venezuela.

Karena itulah, menurut Jose, bukan hal yang mengherankan jika Amerika Serikat "ketar-ketir" menghadapi fakta tersebut. Hal itu pula lah yang membuat Amerika Serikat semakin mengintensifkan perang non-konvensional melalui berbagai aspek.

Aspek pertama adalah melalui dimensi psikologis dengan konsep "diaspora Venezuela". Ini merupakan salah satu kampanye intervensi psikologis terbesar yang dilakukan Amerika Serikat dengan pendekatan yang ditujukkan untuk kaum muda.

Kampanye propaganda ini tampak dari seruan untuk bermigrasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis politik dan ekonomi yang ada di Venezuela. Seruan itu banyak disebarkan melalui jaringan sosial, internet, program televisi dan radio. Inti dari kampanye ini adalah untuk membuat efek psikologis yang membentuk asumsi bahwa Venezuela sata ini tengah dalam masa krisis berbahaya dan orang yang perlu disalahkan atas keadaan tersebut tak lain adalah Nicolas Maduro.

Jose dalam tulisannya menyebut, Amerika Serikat telah menanam sejumlah besar uang untuk kampanye ini agar dipromosikan di internet agar muncul di hasil utama utama mesin pencari, atau iklan yang muncul dalam aplikasi dan game yang diunduh di ponsel, tutorial, berita, serta kisah sukses yang memperkuat gagasan beremigrasi.

Aspek kedua didasari oleh dimensi ekonomi. Venezuela saat ini memang tengah menghadapi fenomene hiper-inflasi sebagai akibat pengaruh dari kebijakan Amerika Serikat. Terlebih lagi, dengan pulihnya harga minyak di pasar, Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan mitranya di Uni Eropa memperkuat sanksi ekonomi untuk menyulitkan perusahaan Venezuela melakukan perdagangan ke luar negeri.

Hal ini mengakibatkan obat-obatan dan barang-barang penting lainnya tidak dapat diperoleh di Venezuela. Pejabat senior pemerintah memperkirakan bahwa 30 persen produk yang diimpor dan diproduksi pada tahun 2014 diekstraksi secara ilegal ke Kolombia.

Aspek lainnya dalam perang non-konvensional yang dilakukan Amerika Serikat terhadap Venezuela ini juga mencakup dimensi paramiliter. Dalam beberapa hari terakhir ini telah terjadi banyak laporan tentang serangan terhadap sistem kelistrikan nasional dan tindakan teroris di sistem transportasi massal ibukota dan infrastruktur rumah sakit. Tujuan dasarnya adalah untuk mendelegitimasi figur pemerintah nasional yang bertanggung jawab untuk menjaga keamanan masyarakat.

Aspek lainya juga mencakup dimensi hukum. Jose menjelaskan bahwa awal Februari kemarin, Pengadilan Pidana Internasional telah menginformasikan keputusannya untuk membuka sebuah arsip kepada Pemerintah Venezuela karena penindasan yang seharusnya dibuktikan selama terjadinya demonstrasi kekerasan tahun 2017.

Hal itu diperkuat dengan keputusan yang jelas dari oposisi Venezuela, untuk tidak menghadirkan kandidat dalam pemilihan presiden Mei mendatang.

Aspek terakhir dari agresi non-konvensional itu adalah dimensi Militer. Analis Arlenin Aguillón, yang diwawancarai secara eksklusif untuk artikel ini, telah melaporkan bahwa Kolombia dan Brasil saat ini memobilisasi pasukan ke perbatasan dengan Venezuela dengan alasan untuk menangani "krisis kemanusiaan" yang disebabkan oleh imigrasi orang-orang Venezuela.

Menurut Aguillón, Presiden Kolombia Juan Manuel Santos menyetujui pengerahan hampir 3.000 personil militer dan pasukan keamanan lainnya untuk memperkuat Operasi Esparta, yang akan memiliki poros utamanya di Cúcuta.

Sementara itu, Menteri Pertahanan Brasil Raúl Jungmann mengumumkan bahwa mereka akan memperkuat kehadiran militer di negara bagian Roraima, yang berbatasan dengan negara bagian Bolivar tenggara Venezuela. [mel]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA