Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Insya Allah, 2030 Semua Kendaran Bermotor di Jeju Menggunakan Tenaga Listrik

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/teguh-santosa-5'>TEGUH SANTOSA</a>
OLEH: TEGUH SANTOSA
  • Senin, 24 Oktober 2016, 20:40 WIB
Insya Allah, 2030 Semua Kendaran Bermotor di Jeju Menggunakan Tenaga Listrik
Ketua PWI Atal S. Depari menerima buku kumpulan objek wisata Jeju dari Pejabat Informasi Publik Jeju Kim Hyun Chol./RMOL
rmol news logo Salah satu hal yang dipelajari delegasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang sedang berkunjung ke Korea Selatan adalah komitmen Pemerintah Provinsi Khusus Jeju untuk mengurangi penggunaan bahan bakar karbon hingga ke titik nol.

Jeju adalah sebuah pulau yang terletak di Selat Korea di selatan Semenanjung Korea, sekitar satu jam penerbangan dari Bandara Gimpo di Provinsi Gyeonggi, dan sekitar 40 menit penerbangan dari Bandara Gimhae di Kota Metropolitan Busan.

Bila menggunakan ferry dari Pelabuhan Mokpo, Provinsi Jeolla Selatan, dibutuhkan waktu hampir empat jam untuk mencapai pelabuhan di utara Pulau Jeju.

Kami terbang menuju Jeju dari Bandara Gimpo hari Sabtu (22/10), dan meninggalkan Jeju menuju Bandara Gimhae hari Senin (24/10).

Kunjungan ke Korea Selatan ini adalah bagian dari kerjasama PWI dan Asosiasi Jurnalis Korea (JAK). Setiap tahun kedua organisasi saling mengirimkan delegasi.

Dalam kunjungan kali ini delegasi PWI terdiri dari 13 wartawan senior, dipimpin Ketua bidang Daerah PWI Pusat, Atal S. Depari. Selain saya, Direktur Departemen Isu Publik PWI Agus Sudibyo juga ikut dalam rombongan.

Ke-10 anggota delegasi PWI lainnya adalah ketua-ketua PWI di daerah. Mereka adalah Tarmilin Usman (Nanggroe Aceh Darussalam), Basril Basyar (Sumatera Barat), Mursyid Yusman (Jambi), Ramon Damora (Kepulauan Riau), Zacky Antoni (Bengkulu), Firdaus Z. Dahlan (Banten),  Mirza Zulhadi Nachli (Jawa Barat), Amir Machmud (Jawa Tengah),  IGM Bang Dwikora Putra (Bali), dan Endro S. Efendi (Kalimantan Timur).

Bagi kami kunjungan ke Korea Selatan ini adalah kesempatan emas untuk mempelajari berbagai aspek pembangunan negeri ginseng, termasuk di dalamnya mempelajari relasi antara pemerintah dan media.

Proses pembangunan Indonesia dan Korea Selatan kerap dibandingkan dalam berbagai studi. Buku yang ditulis Prof. Arief Budiman di era 1990an, Negara dan Pembangunan, misalnya, menyoroti model negara otoriter biroktarik (NOB) di kedua negara yang menghasilkan produk yang tidak sama.

NOB di Korea Selatan, tulis Arief Budiman dalam buku itu, berorientasi pembangunan dan melahirkan kaum industrialis yang mapan. Sementara di Indonesia, NOB melahirkan kelompok pencari rente dan kaum industrialis abal-abal yang semata-mata memanfaatkan kedekatan dengan pusat kekuasaan.

Karakter inilah yang agaknya membuat kedua negara juga tidak memiliki reaksi yang sama dalam menghadapi krisis ekonomi di tahun 1997-1998. Warisan NOB pembangunan di Korea Selatan membuat negara itu bukan hanya bisa segera bangkit dari hantaman krisis, tetapi mampu memanfaatkan krisis sebagai momentum untuk melompat sejauh mungkin.

Sementara Indonesia, harus terseok-seok menghadapi badai krisis di masa itu. Tak kunjung bisa mendapatkan kembali reputasi sebagai salah satu macan Asia yang mengaum.      

Kembali ke soal Jeju.

Jeju tidak begitu besar bila dibandingkan dengan ukuran provinsi di Indonesia umumnya.

Luas pulau ini kurang dari 2.000 km persegi. Bila dibandingkan dengan negeri tetangga kita Singapura, Jeju tiga kali lebih besar.

Posisi geografis membuat Jeju memiliki potensi tenaga angin yang begitu besar. Menurut pemandu wisata yang menemani delegasi PWI, Peter Park, kecepatan angin di Jeju bisa tiga kali lebih tinggi dari kecepatan angin di Seoul.

Potensi angin ini memang tidak disia-siakan oleh pemerintah Korea Selatan dan Pemprov Khusus Jeju yang kini tengah bekerja keras untuk membangun kincir-kincir pembangkit tenaga listrik di seluruh Jeju.

"Tahun 2030 kami akan bebas dari bahan bakar karbon, semua kendaraan bermotor akan menggunakan tenaga listrik dari turbin-turbin yang digerakkan angin," ujar Pejabat  Informasi Publik Pemprov Khusus Jeju, Kim Hyun Cheol, dalam jamuan makan malam dengan delegasi PWI, Minggu malam (23/10).

Tahun 2015 lalu, Pemprov Khusus Jeju menandatangani kontrak senilai 6 triliun won atau setara 5,4 miliar dolar AS untuk membangun fasilitas pembangkit listrik tenaga angin di Jeju.

Target bebas bahan bakar karbon itu dituangkan dalam Proyek Global Eco Platform Jeju 2030.

"Saya sudah menggunakan mobil listrik," ujar Ketua Asosiasi Jurnalis Korea (JAK) Jeju, Kim Dae Hwi, yang ikut dalam jamuan makan malam itu.

Dia menambahkan, pemerintah Pemprov Khusus Jeju kini mulai memberikan insentif kepada masyarakat yang mau beralih dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar karbon ke kendaraan bermotor yang menggunakan tenaga listrik.

Dalam kesepakatan antara LG dan Pemprov Khusus Jeju disebutkan bahwa kedua belah pihak akan meningkatkan penjualan mobil bertenaga baterai, dari sekitar 825 unit ketika kesepakatan ditandatangani menjadi 377 ribu unit di tahun 2030.

Untuk memudahkan pengguna kendaraan bermotor bertenaga listrik, LG akan meningkatkan kapasitas turbin angin di Pulau Jeju menjadi 2,35 GW, atau 15 kali lebih besar dari energi yang dihasilkan saat ini, yakni 156 MW. Juga direncanakan pembangunan 15 ribu stasiun pengisian baterai hingga 2030.

Saat ini jumlah stasiun pengisian tenaga listrik untuk kendaraan bermotor masih kurang dari 100 stasiun.

Proyek 2030 ini diperkirakan akan menyerap lebih dari 50 ribu tenaga kerja. Juga diyakini akan memompa pertumbuhan perusahaan kecil menengah yang terkait dengan pengadaan energi terbarukan.

Di Jeju konon ada tiga hal yang tidak ditemukan, yakni maling, pengemis dan pintu gerbang yang terkunci.

Nah, bila Proyek 2030 berhasil, maka di tahun itu daftar hal yang tidak ditemukan di Jeju akan bertambah menjadi empat.

Insya Allah. [guh]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA