Tertekan Kebutuhan Pokok, Kelas Menengah Indonesia Kencangkan Ikat Pinggang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Rabu, 29 Oktober 2025, 13:05 WIB
Tertekan Kebutuhan Pokok, Kelas Menengah Indonesia Kencangkan Ikat Pinggang
Ilustrasi (Artificial Inteligence)
rmol news logo Tekanan ekonomi yang terus meningkat mulai mengubah pola hidup masyarakat kelas menengah Indonesia. Hasil survei terbaru dari lembaga riset KedaiKOPI menunjukkan, kelompok ini kini lebih berhati-hati dalam membelanjakan uangnya, terutama untuk kebutuhan non-esensial seperti fesyen, nongkrong, dan jalan-jalan.

Dalam Survei Perilaku Konsumsi & Daya Beli Masyarakat Kelas Menengah, KedaiKOPI mencatat adanya kenaikan pengeluaran rumah tangga dalam tiga bulan terakhir. 

“Perubahan paling terasa adalah pergeseran fokus konsumsi ke kebutuhan pokok,” ujar Ashma Nur Afifah, peneliti senior KedaiKOPI, saat merilis hasil survei pada Selasa 28 Oktober 2025. 

Survei daring yang dilakukan pada 14-19 Oktober 2025 terhadap 932 responden itu menemukan bahwa tiga dari lima orang mengaku pengeluarannya meningkat dalam tiga bulan terakhir. Akibatnya, dana rumah tangga kini lebih banyak dialokasikan untuk bahan makanan dan pendidikan, sementara pos rekreasi serta gaya hidup harus dikurangi atau bahkan dihapus.

“Harga pangan dan biaya transportasi yang melonjak membuat daya beli masyarakat menurun,” jelas Ashma.

Fenomena “Rojali”: Mal Ramai, Dompet Sepi


KedaiKOPI juga menyoroti fenomena yang tengah populer di kalangan warganet, yakni “Rojali” (Rombongan hanya jalan-jalan, lihat-lihat tapi tidak beli). Mal tetap ramai, tetapi sebagian besar pengunjung datang sekadar untuk cuci mata.

“Tiga dari lima responden mengaku sering jalan-jalan tanpa niat belanja,” kata Ashma. “Harga di toko fisik dianggap terlalu mahal, sementara diskon yang ditawarkan tidak lagi menarik. Sekarang mal lebih sering jadi tempat mencoba barang, bukan tempat membeli.”


Perang Harga dan Perburuan Diskon

Tekanan ekonomi membuat kebiasaan membandingkan harga semakin marak. Sebanyak 94,5 persen responden mengaku rajin mengecek harga di berbagai platform, baik online maupun offline, sebelum membeli, terutama untuk produk fesyen dan kosmetik.

“Masyarakat semakin rasional. Mereka mencari harga terbaik, jadi perbandingan harga itu jadi rutinitas,” ujar Ashma. Akibatnya, banyak transaksi beralih ke e-commerce dan pasar tradisional yang menawarkan harga lebih kompetitif dibandingkan toko modern.


Paylater dan Pinjol Jadi Penopang Konsumsi

Menurut Ashma daya beli juga membuat kelas menengah semakin bergantung pada kredit konsumtif. Survei menunjukkan 1 dari 2 responden menggunakan fasilitas paylater, sepertiga memiliki utang bank non-KPR, dan seperempat pernah mengakses pinjaman online (pinjol).

“Paylater banyak dipilih karena prosesnya mudah dan cepat, tidak seketat kartu kredit. Tapi risikonya besar kalau gagal bayar,” tegas Ashma.


Harapan pada Pemerintah

Meski tekanan ekonomi meningkat, 58 persen responden menilai pemerintah masih berpihak pada kelas menengah. Namun, 37 persen lainnya merasa kebijakan yang ada belum menjawab kebutuhan mereka.

“Kelas menengah juga butuh dukungan di sektor pendidikan dan kesehatan. Sayangnya, kebijakan yang ada belum sepenuhnya relevan dengan kebutuhan mereka,” tutur Ashma.

Untuk mengatasi situasi ini, KedaiKOPI merekomendasikan beberapa langkah kebijakan, seperti; menstabilkan harga kebutuhan pokok melalui operasi pasar, memberikan bantuan berbasis insentif seperti pemeriksaan kesehatan gratis, serta memperluas pelatihan kerja dan akses modal bagi sektor informal.

“Yang penting, pastikan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan tetap berkualitas. Kalau lapangan kerja formal terbatas, ciptakan sektor informal yang stabil,” tutup Ashma. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA