Kebijakan relaksasi regulasi terutama melalui peningkatan kuota penjualan domestik (TLDDP) menjadi 50 persen (PMK 131/2018) dan celah perhitungan pajak (PMK 65/2021), telah mentransformasi KB dari simpul industri berorientasi ekspor menjadi koridor utama masuknya barang impor murah secara masif ke pasar domestik.
Kebijakan Kawasan Berikat yang mulanya dirancang sebagai fasilitas penangguhan Bea Masuk (BM), PPN, dan PPh Pasal 22 untuk bahan baku yang diolah untuk tujuan ekspor. Dengan melalui serangkaian relaksasi regulasi, fungsi KB telah berubah secara fundamental.
Meskipun kebijakan ini berhasil menarik investasi Rp 221,53 triliun, tetapi bikin boncos negara karena tak seimbang dengan perekonomian dalam negeri.
Misalnya, kebijakan insentif pajak yang ditangguhkan oleh Kawasan Berikat mencapai Rp 69,63 triliun, jumlah yang 137 persen lebih besar dari total penerimaan Bea Masuk negara. Sudah pasti ini kerugian fiskal yang sangat serius.
Korban utama yang sudah tumbang akibat kebijakan ini sektor Tekstil dan Garmen (TPT). Buktinya di sektor ini sudah lebih dari 80 ribu tenaga kerja yang di-PHK selama tahun 2024.
Akibat kebijakan ini juga menjadi ancaman nyata pada sektor UMKM. Pengrajin lokal dan UMKM terdesak karena produk impor dari KB/PLB dapat dijual 30 persen hingga 35 persen lebih murah, menyingkirkan produk-produk yang dibuat UMKM yang membayar pajak penuh.
Ditambah rendahnya Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) di KB yang rata-rata hanya 45 persen dari target 64 persen ini mengonfirmasi bahwa insentif pajak secara struktural lebih menguntungkan penggunaan bahan baku impor dari pada produk lokal.
BERITA TERKAIT: