Tiga Provinsi dengan Laporan Kasus Investasi Bodong Tertinggi

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/reni-erina-1'>RENI ERINA</a>
LAPORAN: RENI ERINA
  • Jumat, 24 Oktober 2025, 08:37 WIB
Tiga Provinsi dengan Laporan Kasus Investasi Bodong Tertinggi
Ilustrasi (Foto: Artificial Intelligence)
rmol news logo Tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Hal itu menjadi penyebab banyaknya masyarakat yang tertipu oleh investasi bodong.  

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada  tiga provinsi di Indonesia dengan laporan kasus aktivitas investasi bodong tertinggi sejak 2017 hingga Juni 2025.

Kepala Divisi Pengawasan Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Perlindungan Konsumen OJK Jabodebek, Andes Novytasary mengatakan, Jawa Barat menempati posisi pertama dalam pengaduan layanan investasi ilegal melalui Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas Pasti), dengan total 1.850 kasus (21 persen). 

"Posisi kedua ditempati Jawa Timur dengan 1.115 kasus (13 persen)," terang Andes dalam sebuah Podcast yang dikutip redaksi di Jakarta, Jumat 24 Oktober 2025

Posisi ketiga adalah  DKI Jakarta dengan 1.107 kasus atau setara 12 persen dari total pengaduan nasional. Andes menyoroti. meskipun Jakarta memiliki akses informasi yang luas,  pada kenyataannya masih banyak yang tertipu investasi illegal. 

Total kerugian masyarakat akibat investasi ilegal dalam kurun waktu tersebut atau selama delapan tahun terakhir mencapai Rp142,13 triliun.  

Kasus investasi bodong menjadi perhatian serius OJK dan Satgas Pasti dalam beberapa tahun terakhir. Sepanjang 2024 hingga pertengahan 2025, Satgas Pasti mencatat lonjakan penawaran investasi ilegal yang memanfaatkan media sosial dan aplikasi pesan instan.

Modus yang paling banyak digunakan meliputi penawaran investasi berbasis trading aset digital, robot trading, koperasi simpan pinjam fiktif, hingga penipuan berkedok investasi proyek pemerintah.

Andes mengatakan, masyarakat Indonesia cenderung lebih dulu menggunakan produk dan layanan keuangan tanpa memahami manfaat dan risikonya masing-masing. Berdasarkan survei OJK, tingkat literasi masyarakat terhadap produk dan layanan jasa keuangan baru mencapai sekitar 66 persen, sedangkan tingkat inklusi atau penggunaan produk mencapai 80 persen.

Ia menyebut, gaya hidup masyarakat juga berperan dalam maraknya investasi ilegal. Banyak masyarakat yang ikut membeli produk investasi tertentu karena tren atau takut dianggap ketinggalan oleh lingkungan sosialnya. rmol news logo article
EDITOR: RENI ERINA

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA