Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai konflik antar kedua negara adidaya ini tidak semata berkaitan dengan tarif impor, melainkan perebutan dominasi global antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia.
“Akan berlangsung lama, dagang hanya sebagai moda saja. Yang terjadi sesungguhnya adalah perang antara hegemon dunia saat ini (AS) dengan calon hegemon baru (China). AS, siapa pun presidennya, pasti ingin mempertahankan posisi sebagai superpower tunggal,” katanya ketika dihubungi RMOL di Jakarta pada Senin, 13 Oktober 2025.
Menurut Wijayanto, perang dagang ini berpotensi mengguncang stabilitas keuangan global, termasuk di sektor keuangan digital. Meski dampak langsung terhadap perekonomian nasional belum terlalu besar, Indonesia tetap perlu mewaspadai dampak lanjutan dari ketegangan tersebut.
“Dampak ke ekonomi RI tidak terlalu signifikan, tetapi kita perlu mengantisipasi membanjirnya produk China ke Indonesia, baik legal maupun ilegal,” tuturnya.
Ketegangan terbaru antara Beijing dan Washington meningkat setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan akan memberlakukan tarif tambahan hingga 100 persen terhadap produk impor asal China mulai awal November. Kebijakan itu menjadi respons atas pembatasan ekspor mineral tanah jarang dan teknologi penting yang diterapkan pemerintah China, yang selama ini menjadi bahan baku utama industri produk berteknologi tinggi global.
Trump bahkan menuduh Beijing “sangat bermusuhan” dan menjadikan AS serta dunia sebagai “sandera” melalui kebijakan pembatasan ekspor secara mendadak.
BERITA TERKAIT: