Menanggapi hal tersebut, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung Wibowo meminta pemilik fasilitas maupun penyelenggara acara untuk fokus menyediakan tempat khusus untuk merokok.
“Seperti yang saya sampaikan berulang kali, yang diatur itu tempatnya. Misalnya, kalau ada tempat karaoke, ya, di karaokenya yang nggak boleh, tetapi orang berjualan di sana, ya, nggak boleh dilarang,” kata Pramono lewat keterangan resminya seperti dikutip Kamis, 2 Oktober 2025.
Pramono juga meminta agar di fasilitas publik lainnya atau lokasi acara tertentu disediakan tempat khusus merokok sehingga asap dari rokok tersebut tidak mengganggu dan menyebar ke masyarakat yang tidak merokok.
“Jadi intinya, semua fasilitas yang memperbolehkan atau mengadakan acara harus menyiapkan tempat untuk merokok secara tertutup, supaya tidak mengganggu yang lainnya,” ujar Pramono.
Sementara itu, Anggota Badan Pengurus Daerah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jakarta, Arini Yulianti, membeberkan hasil survei internal yang dilakukan pihaknya.
“Studi pendapat apabila aturan lama diperbaharui dengan aturan Raperda KTR yang lebih ketat, 50 persen dari pelaku usaha menilai peraturan ini akan berdampak pada bisnis. Kami pelaku usaha hotel, restoran dan hiburan bukan anti regulasi. Tapi kami mohon jangan dibebani,” ujarnya.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan PHRI DKI Jakarta pada April 2025 terhadap anggotanya, tercatat 96,7 persen hotel melaporkan terjadinya penurunan tingkat hunian. Dampaknya, banyak pelaku usaha yang terpaksa melakukan pengurangan karyawan sekaligus menerapkan berbagai strategi efisiensi.
Adapun industri hotel dan restoran menyerap lebih dari 603.000 tenaga kerja di Jakarta dan menyumbang sekitar 13 persen Pendapatan Asli Daerah (PAD) DKI.
“Kami mohon pertimbangkan kondisi ini. Sebenarnya yang dibutuhkan adalah kebijakan KTR yang berimbang. Jangan sampai aturan ini dikebut demi sekadar mengejar indikator kota global tanpa mempertimbangkan dampaknya,” harap Arini.
BERITA TERKAIT: