Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), M Fadhil Hasan, menilai pemerintah tidak cukup hanya menyampaikan angka-angka secara sepihak tanpa penjelasan yang lebih terbuka dan akuntabel.
“Menurut saya, di triwulan II-2025, perekonomian sebenarnya di bawah 5 persen. Pemerintah perlu memberikan penjelasan dan komunikasi yang lebih komprehensif, terutama soal metodologi penghitungan. Pemerintah tidak cukup hanya mengumumkan data, tapi juga harus menjelaskan kejanggalan-kejanggalan yang muncul,” ujar Fadhil dalam diskusi publik INDEF, Rabu 6 Agustus 2025.
Kritik serupa disampaikan Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho. Ia mempertanyakan lonjakan pertumbuhan yang tidak lazim di triwulan II ini, mengingat tidak adanya momentum Ramadan yang biasanya mendorong konsumsi.
“Tidak ada momen Ramadan, tidak ada faktor musiman seperti tahun-tahun sebelumnya, tapi kenapa justru pertumbuhannya melonjak cukup tinggi? Ini yang harus dibedah lebih dalam, apakah ini anomali atau jangan-jangan ada praktik window dressing data,” tegas Andry.
Andry mengungkapkan, ada lima sektor utama yang menyumbang porsi besar terhadap pertumbuhan ekonomi, yakni industri pengolahan, pertanian-kehutanan, perdagangan besar, dan pertambangan. Namun faktanya, industri manufaktur justru terus tertekan di bawah level 50 selama beberapa bulan terakhir.
Selain jtu, hasil konfirmasi ke pelaku ritel dan asosiasi terkait juga tidak ditemukan lonjakan kinerja yang signifikan.
“Kami tanya ke para retailer dan asosiasi, justru mereka mengaku kinerja perdagangan di sektor ritel tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya. Fenomena Rohjali (rombongan jadi beli) dan Rohana (rombongan hanya nanya) itu nyata. Perdagangan besar yang tumbuh positif pun hanya di segmen non-kendaraan. Ini menjadi tanda tanya besar,” paparnya.
Lebih jauh, Andry menyoroti sektor penyediaan akomodasi dan makanan minuman yang seharusnya terdampak oleh kebijakan efisiensi pemerintah dan pembatasan perjalanan dinas. Namun, sektor ini justru mencatat pertumbuhan yang dinilai di luar logika lapangan.
“Dengan adanya efisiensi dan pembatasan perjalanan dinas oleh ASN dan pemerintah daerah, seharusnya pertumbuhan sektor ini melambat. Tapi faktanya justru tumbuh jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi. Ini mencengangkan,” pungkas Andry.
Ia menegaskan, pemerintah dan BPS harus memberikan klarifikasi apakah data yang disajikan benar-benar mencerminkan kondisi di lapangan atau justru menyimpan anomali yang perlu diluruskan.
Sementara itu, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menegaskan ketidakpercayaannya terhadap data BPS, di tengah meningkatnya PHK, pertumbuhan industri pengolahan yang terbatas, serta konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 4,97 persen, padahal menyumbang mencapai 50 persen dari PDB.
“Pertumbuhan ekonomi triwulan 2 2025 penuh kejanggalan dan tanda tanya publik. Saya TIDAK PERCAYA dengan data yang disampaikan mewakili kondisi ekonomi yang sebenarnya,” tuturnya dalam keterangan terpisah.
Ia mendesak BPS seharusnya menjadi badan yang mengedepankan informasi data yang akurat tanpa ada intervensi pemerintah.
“BPS harus menjelaskan secara detail metodologi yang digunakan, termasuk indeks untuk menarik angka nilai tambah bruto sektoral dan juga pengeluaran,” tandasnya.
BERITA TERKAIT: