Angka ini jauh melampaui kebutuhan domestik dan menjadikan Indonesia bukan sekadar swasembada energi, tetapi juga eksportir utama minyak mentah.
Namun kini, badai melanda perusahaan plat merah tersebut. Pasalnya, pemberitaan saat ini kerap mengaitkan Pertamina dengan bayang-bayang mafia impor, korupsi dalam pengadaan, serta beban utang yang sempat membengkak.
Padahal, kata Komisaris Utama Pertamina Hulu Energi (PHE) Denny JA, Petronas yang dulu berguru pada Pertamina kini telah menjelma menjadi raksasa global.
“Petronas tampil dengan struktur korporasi yang ramping, transparan, dan modern. Sementara Pertamina, selama bertahun-tahun, terseok oleh politik internal dan beban birokrasi,” katanya kepada wartawan, Jumat, 25 Juli 2025.
Sebagai bagian dari Pertamina, Denny JA bermimpi untuk membuat perusahaan tersebut besar kembali. Sejumlah pertemuan dilakukan untuk merangkai ide besar tersebut. Salah satunya dengan menjumpai Direktur Utama Pertamina, Simon Aloysius Mantiri pada Kamis, 24 Juli 2025.
“Kami hanya berbincang satu jam. Namun dari percakapan itu lahir kesepahaman yang kuat, membuat Pertamina bangkit,” tegasnya.
Ada tiga agenda bicarakan. Pertama, menargetkan agar produksi minyak mentah yang hanya mentok di angka 600 ribu barel per hari bisa digenjot hingga 1 juta barel per hari.
Menurutnya, ini bukan sekadar mimpi kosong lantaran ada dukungan teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), eksplorasi aktif, dan percepatan perizinan.
“Termasuk adanya hubungan yang lebih sinergis antara Pertamina dan SKK Migas. Jadi angka ini realistis dan dapat dicapai,” sambungnya.
Kedua, perlu ada keterlibatan swasta yang lebih luas. Menurutnya, negara tidak bisa berjalan sendiri dan membutuhkan energi kewirausahaan, inovasi teknologi, dan efisiensi biaya dari sektor swasta.
“Namun pelibatan ini tetap harus berada dalam koridor pengawasan, transparansi, dan keberpihakan pada kepentingan nasional,” lanjut Denny.
Sementara poin ketiga adalah menghadirkan ekosistem energi yang berkeadilan. Kebangkitan energi, katanya, bukan sekadar urusan volume produksi tapi juga harus menyentuh keadilan sosial. Salah satunya dengan memberdayakan masyarakat dan daerah penghasil.
“Program CSR mesti menjangkau pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan ekonomi lokal,” tegasnya.
Tidak hanya itu, Denny JA juga sempat berdiskusi dengan Direktur Utama PHE Awang Lazuardi, untuk menyusun langkah-langkah strategis yang tak konvensional. Yaitu, dengan membuka ruang partisipasi yang luas bagi sektor swasta dalam pengembangan hulu migas.
BERITA TERKAIT: