Bagi Indonesia sebagai negara pengimpor migas, sudah tentu konflik ini akan berdampak serius pada perekonomian nasional.
Menurut ekonom dan pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, dampak buruk meroketnya harga minyak dunia harus siap dihadapi Indonesia.
Ia mengurai Iran adalah produsen minyak terbesar keempat OPEC dan penjaga jalur kritis, Selat Hormuz. Sekitar 20 persen suplai minyak global melewati selat ini.
"Satu ledakan saja, satu rudal nyasar, cukup untuk memicu disrupsi yang menelan triliunan dolar kerugian global," kata Achmad Nur Hidayat kepada
Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Minggu, 22 Juni 2025.
Pakar yang dikenal kritis ini menambahkan sejak kabar serangan udara dikonfirmasi, pasar berjangka minyak mentah melonjak tajam. Dalam waktu singkat, harga minyak menyentuh 80 Dolar AS per barel dari sebelumnya menyentuh 78 Dolar AS per barel.
Diprediksi dalam satu minggu ke depan bila ketegangan berlanjut bisa mencapai 110 Dolar AS/barel. Bahkan, jika Iran benar-benar memblokir Selat Hormuz, harga bisa menembus 150-170 Dolar AS per barel.
"Efek domino dari ini sangat luas: inflasi global, biaya logistik yang membengkak, tekanan fiskal bagi negara berkembang, dan tentu saja, ancaman resesi," jelasnya.
"Negara-negara pengimpor energi seperti Indonesia akan sangat terpukul," sambung Achmad.
Ia mengatakan pemerintahan Prabowo bakal menghadapi situasi dilematis ke depan.
"Pemerintah akan dihadapkan pada pilihan sulit, menaikkan harga BBM atau menambah subsidi yang akan memperlebar defisit anggaran," tutupnya.
BERITA TERKAIT: