Koersi Militer, Tatanan Hukum, dan Stabilitas Strategis

Rabu, 31 Desember 2025, 20:06 WIB
Koersi Militer, Tatanan Hukum, dan Stabilitas Strategis
Ilustrasi. (Foto: Dokumentasi Penulis)
LATIHAN  militer berskala besar Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Republik Rakyat Cina di sekitar Taiwan pada 29 Desember 2025 menandai eskalasi signifikan dalam dinamika keamanan lintas selat dan Indo-Pasifik. Artikel ini menganalisis Justice Mission 2025 sebagai instrumen koersi strategis yang beroperasi di bawah ambang konflik bersenjata terbuka, namun memiliki implikasi serius terhadap stabilitas kawasan dan tatanan hukum internasional. 

Dengan mengintegrasikan analisis strategi militer, teori konflik abu-abu, serta kerangka hukum Piagam PBB dan UNCLOS 1982, kajian ini menunjukkan bahwa latihan tersebut berfungsi sebagai sinyal kekuatan koersif yang mengikis status quo dan norma berbasis aturan. Artikel ini menawarkan kerangka respons strategis dan kebijakan bagi negara-negara Indo-Pasifik, termasuk kekuatan menengah, untuk memperkuat stabilitas maritim dan supremasi hukum internasional.

Tanggal 29 Desember 2025 menjadi titik eskalasi penting dalam dinamika keamanan Indo-Pasifik, ketika Republik Rakyat Cina secara tiba-tiba meluncurkan latihan militer berskala besar di sekitar Taiwan. Latihan tersebut, yang secara resmi dinamakan Justice Mission 2025, dilaksanakan oleh Komando Teater Timur Tentara Pembebasan Rakyat dan melibatkan unsur darat, laut, udara, serta pasukan roket. Wilayah latihan mencakup Selat Taiwan, perairan utara Taiwan, kawasan barat daya dan tenggara Pulau Taiwan, hingga perairan timur Taiwan, sehingga membentuk konfigurasi pengepungan multidirectional yang jarang terjadi dalam latihan militer sebelumnya.

Pemerintah Taiwan merespons dengan kecaman keras melalui Kantor Kepresidenan, menegaskan bahwa tindakan Cina tersebut secara langsung merusak status quo keamanan regional dan bertentangan dengan konsensus internasional mengenai pentingnya menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan dan Indo-Pasifik. Pernyataan resmi Taipei menekankan bahwa latihan PLA tidak bersifat netral atau defensif, melainkan secara eksplisit menargetkan Taiwan sebagai objek tekanan militer dan politik.

Dalam konteks Indo-Pasifik yang semakin ditandai oleh rivalitas kekuatan besar, Selat Taiwan memiliki signifikansi strategis yang melampaui dimensi bilateral. Jalur perairan ini merupakan salah satu simpul utama perdagangan global dan rantai pasok strategis, termasuk semikonduktor dan energi. 

Oleh karena itu, setiap eskalasi militer di kawasan ini memiliki potensi dampak sistemik terhadap stabilitas ekonomi dan keamanan regional. Latihan Justice Mission 2025 harus dipahami sebagai bagian dari tren lebih luas dalam perilaku strategis Cina yang memanfaatkan aktivitas militer sebagai instrumen sinyal politik dan tekanan koersif.

Koersi Strategis dan Konflik Abu-Abu

Latihan Justice Mission 2025 mencerminkan transformasi pendekatan militer Cina dari sekadar pencegahan defensif menuju koersi strategis yang terukur. PLA secara terbuka menyatakan bahwa latihan tersebut berfokus pada kesiapsiagaan tempur laut dan udara, penguasaan terpadu lintas domain, pengendalian pelabuhan dan wilayah kunci, serta kemampuan blokade dan deterensi di luar rantai pulau pertama. Pernyataan ini menunjukkan bahwa latihan tersebut tidak hanya bertujuan meningkatkan interoperabilitas militer, tetapi juga mensimulasikan skenario operasi nyata terhadap Taiwan.

Dalam literatur keamanan internasional, pendekatan ini sejalan dengan konsep gray-zone conflict, yaitu penggunaan instrumen militer dan non-militer secara terintegrasi untuk mencapai tujuan strategis tanpa melampaui ambang perang terbuka. Dengan mengepung Taiwan dari berbagai arah, Cina berupaya menormalisasi tekanan militer berintensitas tinggi sekaligus menguji respons Taiwan dan aktor eksternal, terutama Amerika Serikat dan mitra regionalnya.

Masalah utama yang muncul dari pendekatan ini adalah erosi gradual terhadap stabilitas dan prediktabilitas strategis. Meskipun tidak terjadi kontak senjata langsung, intensitas dan skala latihan meningkatkan risiko salah perhitungan, insiden tidak disengaja, dan eskalasi yang tidak terkontrol. Selain itu, normalisasi latihan koersif semacam ini berpotensi menggeser persepsi regional mengenai apa yang dianggap sebagai perilaku negara yang dapat diterima dalam hubungan internasional.

Dimensi Hukum Internasional dan Tantangannya 

Dari perspektif hukum internasional, latihan Justice Mission 2025 menimbulkan pertanyaan serius mengenai kepatuhan terhadap Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, khususnya Pasal 2 ayat (4) yang melarang ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik entitas lain. Meskipun status internasional Taiwan memiliki kompleksitas tersendiri, larangan terhadap ancaman kekuatan bersifat normatif dan berlaku luas dalam menjaga perdamaian internasional.

Selain itu, pelaksanaan latihan militer berskala besar di perairan dan ruang udara sekitar Taiwan memiliki implikasi langsung terhadap penerapan Konvensi Hukum Laut PBB 1982. UNCLOS mengakui kebebasan navigasi dan penggunaan laut lepas, namun juga menegaskan prinsip due regard, yang mengharuskan negara untuk mempertimbangkan hak dan kepentingan negara lain dalam pelaksanaan aktivitasnya. Latihan yang mensimulasikan blokade dan pengendalian pelabuhan kunci berpotensi melanggar semangat prinsip ini dan merusak kepercayaan maritim regional.

Kecaman Taiwan yang menyebut tindakan Cina sebagai tantangan terbuka terhadap hukum internasional mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas di kalangan komunitas internasional mengenai melemahnya tatanan berbasis aturan. Jika praktik koersi militer semacam ini dibiarkan tanpa respons normatif yang konsisten, maka legitimasi hukum internasional sebagai penyangga stabilitas kawasan akan semakin tergerus.

Solusi Strategis: Memperkuat Deterensi dan Supremasi Hukum

Menghadapi eskalasi koersi strategis, solusi yang efektif tidak dapat semata-mata bersandar pada peningkatan kapasitas militer. Deterensi yang kredibel di Indo-Pasifik harus dilengkapi dengan penguatan norma hukum internasional dan mekanisme multilateral. Transparansi militer, komunikasi krisis, dan penguatan confidence-building measures menjadi elemen penting untuk mengurangi risiko salah perhitungan.

Pada saat yang sama, negara-negara kawasan perlu memperkuat komitmen terhadap UNCLOS 1982 sebagai kerangka hukum utama tata kelola maritim. Penegasan kembali prinsip kebebasan navigasi dan penyelesaian sengketa secara damai merupakan fondasi untuk menahan eskalasi konflik. Dalam konteks ini, forum-forum regional seperti ASEAN-led mechanisms memiliki peran strategis dalam memfasilitasi dialog dan membangun konsensus normatif.

Aksi Kebijakan bagi Negara Indo-Pasifik dan Kekuatan Menengah

Bagi negara-negara kekuatan menengah seperti Indonesia, dinamika di Selat Taiwan menuntut respons kebijakan yang berhati-hati namun tegas. Pendekatan free and active diplomacy harus diterjemahkan ke dalam advokasi konsisten terhadap supremasi hukum internasional dan penolakan terhadap penggunaan kekuatan sebagai alat intimidasi. Indonesia dapat memainkan peran sebagai norm entrepreneur dengan mendorong kepatuhan terhadap UNCLOS dan prinsip penyelesaian sengketa secara damai.

Selain itu, penguatan kapasitas maritim nasional dan kerja sama keamanan non-tradisional dapat meningkatkan ketahanan regional tanpa memperburuk rivalitas kekuatan besar. Dengan mengedepankan diplomasi maritim dan dialog strategis, negara-negara Indo-Pasifik dapat berkontribusi pada stabilitas jangka panjang.

Penutup

Latihan militer Justice Mission 2025 menandai fase baru dalam penggunaan kekuatan militer Cina sebagai instrumen koersi strategis di Indo-Pasifik. Meskipun diklaim sebagai tindakan sah untuk menjaga kedaulatan nasional, latihan tersebut secara nyata mengikis status quo, meningkatkan ketidakpastian strategis, dan menantang tatanan hukum internasional berbasis aturan. Stabilitas masa depan Selat Taiwan tidak hanya bergantung pada keseimbangan kekuatan militer, tetapi juga pada komitmen kolektif terhadap hukum internasional dan diplomasi preventif. Dalam konteks ini, peran aktif negara-negara kawasan, termasuk kekuatan menengah, menjadi krusial untuk menjaga Indo-Pasifik tetap terbuka, stabil, dan berbasis aturan. rmol news logo article

Laksamana Muda TNI (Purn) Adv. Dr. Surya Wiranto, SH MH
Penasihat Indo-Pacific Strategic Intelligence (ISI), Anggota Senior Advisory Group IKAHAN Indonesia-Australia, Dosen Program Pascasarjana Keamanan Maritim Universitas Pertahanan Indonesia, Ketua Departemen Kejuangan PEPABRI, Anggota FOKO, Sekretaris Jenderal IKAL Strategic Centre (ISC) dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Maritim Indonesia (IIMS). Aktif sebagai Pengacara, Kurator, dan Mediator di firma hukum Legal Jangkar Indonesia.
 
 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA