Penguatan Rupiah ini tidak lepas dari ketidakpastian kebijakan ekonomi AS yang dipicu langkah Presiden Donald Trump menaikkan tarif impor baja dan aluminium.
"Para pedagang mempertanyakan dampak ekonomi dari kebijakan Trump setelah menggandakan tarif baja dan aluminium. Data penggajian nonpertanian yang akan dirilis Jumat ini juga akan memberikan lebih banyak petunjuk," kata Pengamat Mata Uang dan Komoditas, Ibrahim Assuaibi kepada
RMOL.
Ibrahim mencermati, kondisi pasar saat ini masih memantau kemungkinan pembicaraan dagang lanjutan antara AS dan China.
Ditambah, sejumlah pejabat AS mengisyaratkan Trump dan Presiden Xi Jinping akan berkomunikasi setelah negosiasi sempat mandek.
Ketegangan geopolitik turut menambah kecemasan pelaku pasar. Aksi militer Ukraina terhadap Rusia, termasuk serangan bawah laut yang menyasar jembatan penghubung ke Krimea menambah ketidakpastian dan bisa memicu pelarian modal negara berkembang seperti Indonesia.
“(Situasi ini ditambah) sikap beberapa pejabat The Fed yang menegaskan suku bunga acuan belum akan diturunkan dalam waktu dekat,” lanjut Ibrahim.
Sementara dari dalam negeri, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali dipangkas oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Dalam laporan OECD Economic Outlook June 2025, lembaga tersebut memproyeksikan pertumbuhan ekonomi tahun depan menjadi 4,7 persen. Ini merupakan revisi kedua setelah sebelumnya dipangkas dari 5,2 persen menjadi 4,9 persen.
OECD memperingatkan bahwa konsumsi dan investasi swasta akan terbebani oleh ketidakpastian kebijakan fiskal dan tingginya biaya pinjaman di semester pertama 2025.
Di sisi eksternal, penurunan harga komoditas serta meningkatnya ketegangan perdagangan global juga dinilai dapat menggerus pendapatan ekspor Indonesia.
“Ekonomi Indonesia berisiko tumbuh lebih rendah dari harapan pemerintah karena arus keluar modal yang terus-menerus didorong ketidakpastian kebijakan global dan domestik," pungkasnya.
BERITA TERKAIT: