Menurut Departemen Pertanian AS, sekitar 73 persen kopi dunia berasal dari lima negara utama, termasuk Brasil, Vietnam, dan Kolombia. Sayangnya, cuaca ekstrem seperti kekeringan dan kegagalan panen, ditambah dengan kenaikan tarif impor, telah mengganggu rantai pasokan global.
Scott Laing, dosen bidang Keuangan di University at Buffalo, menjelaskan bahwa bukan hanya biji kopi yang naik harganya. Barang-barang lain yang digunakan sehari-hari di kedai kopi, seperti gelas kertas dan kotak kemasan, juga ikut mahal.
“Harga biji kopi naik karena panennya jelek dan tarif impor tinggi. Ini membuat biaya usaha kecil jadi dua kali lipat, bahkan bisa tiga kali lipat dari sebelumnya,” kata Laing, dikutip dari
Wrgz pada Jumat, 18 April 2025.
Menurutnya, banyak tahapan dalam rantai pasokan kopi — mulai dari importir, pemanggang, distributor, hingga ke kedai dan akhirnya sampai ke tangan pelanggan.
Berbeda dengan perusahaan besar seperti Starbucks yang bisa beli langsung dari petani dan menghemat biaya, usaha kecil harus melalui banyak perantara. Akibatnya, harga jual mereka lebih tinggi dan sulit bersaing. Para ahli khawatir pelanggan bisa beralih ke tempat lain, meskipun mereka ingin tetap mendukung usaha lokal.
Tekanan harga ini juga diperkirakan belum akan berakhir dalam waktu dekat. Meski begitu, banyak pelanggan tetap ingin menikmati kopi sebagai bagian dari rutinitas dan kenyamanan mereka.
“Saya mungkin tidak akan berhenti minum kopi kalau harganya naik tiga kali lipat, tapi mungkin akan lebih jarang ke kedai. Buat saya ini semacam hadiah kecil dan bentuk dukungan untuk usaha lokal,” ujar Karen Streech, salah satu pelanggan.
Di kedai kopi The Original Tea House, yang menggunakan biji kopi dari Ethiopia, harga biji kopi sudah hampir dua kali lipat sejak mereka pertama kali buka.
“Dulu kami beli biji kopi sekitar 10–11 Dolar AS per pon. Sekarang harganya naik jadi 16–17 Dolar AS,” kata Ibrahim Nor, salah satu pemilik kedai.
BERITA TERKAIT: