Keputusan terbaru menetapkan tarif impor AS menjadi yang tertinggi dalam lebih dari 100 tahun terakhir, yaitu 10 persen untuk semua barang impor, dan lebih tinggi untuk puluhan negara tertentu.
Sebagai akibatnya, harga barang-barang di AS bisa melonjak. Mulai dari sepatu olahraga hingga iPhone. Menurut Rosenblatt Securities, harga iPhone model tertinggi bisa mencapai hampir 2.300 Dolar AS (sekitar 36,8 juta) jika Apple membebankan biaya tambahan ini ke konsumen.
Perusahaan-perusahaan besar pun mulai mengambil langkah cepat. Stellantis, produsen mobil ternama, akan menghentikan sementara produksi dan mem-PHK karyawan di AS, serta menutup pabrik di Kanada dan Meksiko. Sebaliknya, General Motors (GM) justru berencana meningkatkan produksi dalam negeri.
Direktur Pelaksana IMF, Kristalina Georgieva, memperingatkan bahwa tarif baru ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi global yang sudah lesu. Ia mendesak AS agar segera menyelesaikan konflik dagang ini demi mengurangi ketidakpastian ekonomi dunia.
Namun, Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick dan penasihat perdagangan Peter Navarro mengatakan bahwa keputusan ini final dan bukan bagian dari strategi negosiasi.
Anehnya, Trump justru memberikan pernyataan yang bertentangan. Ia mengatakan tarif ini bisa digunakan sebagai alat tawar-menawar dalam negosiasi perdagangan.
"Saya sudah membuktikannya di masa jabatan pertama, dan sekarang kami akan membawanya ke level yang baru,” kata Trump seperti dikutip dari Reuters, Sabtu, 5 April 2025.
Sejak kembali ke Gedung Putih pada Januari lalu, ancaman tarif dari Trump yang muncul-tenggelam telah mengguncang kepercayaan konsumen dan pelaku bisnis. Sekarang pun masih ada kemungkinan Trump membatalkan kebijakannya, karena tarif tersebut baru akan mulai berlaku pada 9 April.
James Lucier dari Capital Alpha menilai kebijakan tarif ini tampaknya dibuat tanpa perencanaan matang.
“Negosiasi perdagangan itu rumit, dan menurut kami, rencana ini tidak memberikan dasar yang kuat untuk bernegosiasi dengan negara mana pun,” katanya.
Para ekonom juga sudah memperingatkan bahwa tarif ini bisa memicu kembali inflasi, meningkatkan risiko resesi di AS, dan menambah beban pengeluaran keluarga Amerika hingga ribuan dolar.
Selain itu, kebijakan ini juga berisiko membuat negara-negara sekutu di Asia menjauh dan bisa melemahkan upaya AS dalam menghadapi China.
BERITA TERKAIT: