Meskipun tidak akan terasa langsung dampaknya, ekonom Commonwealth Bank, Dennis Voznesenski, menyebut kebijakan ini dapat membuka peluang bagi ekspor gandum, barley, dan sorgum Australia.
“Pertanyaannya, kapan mereka mulai membeli? Mungkin tidak segera. Bisa saja nanti di tahun ini,” ujarnya, seperti dikutip dari
Nikkei Asia, 11 Maret 2025.
Saat ini, China masih memiliki cadangan gandum besar dengan permintaan domestik yang rendah, sehingga impor gandum dan barley mereka menurun drastis pada Desember lalu.
Di sisi lain, ekspor daging sapi Australia ke AS meningkat tajam akibat kekeringan yang menghambat pemulihan stok ternak Amerika. Nilai ekspornya melonjak dari 1,9 miliar menjadi 3,3 miliar Dolar Australia dalam satu tahun.
Voznesenski menyebut tarif 25 persen yang diterapkan Donald Trump terhadap Meksiko dan Kanada sebagai “kesempatan emas” bagi Australia. Namun, tarif ini ditangguhkan untuk produk yang termasuk dalam Perjanjian USMCA hingga Agustus .
Analis Rabobank, Angus Gidley-Baird, menilai dampak positif bagi Australia masih terbatas.
“Secara teori, ini bisa menguntungkan Australia, tapi saya tidak yakin akan menjadi keuntungan besar. Kemungkinan besar, ini hanya akan menyebabkan perubahan dalam distribusi produk,” katanya.
Direktur Rangers Valley Cattle Station, Keith Howe, juga melihat peluang dan tantangan. Meski harga daging sapi di AS tinggi, pembatasan terhadap produk yang masuk ke China bisa menguntungkan Australia.
"Namun, bagi perusahaan yang fokus pada pasar premium, perlambatan ekonomi akibat perang dagang justru bisa berdampak negatif," ujarnya.
Presiden Federasi Petani Nasional Australia, David Jochinke, mengingatkan bahwa 70 persen hasil pertanian Australia diekspor, sehingga perdagangan bebas tetap menjadi kunci pertumbuhan ekonomi global.
"Meskipun mungkin ada perubahan permintaan dalam jangka pendek, pasar yang bebas dan terbuka adalah yang terbaik untuk stabilitas," tegasnya.
BERITA TERKAIT: