Data terbaru dari Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang menunjukkan bahwa pada tahun 2024, impor produk pertanian, termasuk daging, meningkat sebesar 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai total 9,54 triliun Yen. Impor hasil laut juga naik 2 persen, mencapai 2,06 triliun Yen.
"Nilai total mencapai 11,6 triliun Yen (sekitar Rp 1.267 triliun), naik 5 persen pada tahun ini dan kira-kira dua kali lipat dari level tahun 2010," menurut data, seperti dikutip dari
Nikkei Asia, Jumat 28 Februari 2025.
Daging sapi impor adalah contoh utama kenaikan harga. Di sebuah supermarket di pinggiran kota Tokyo baru-baru ini, daging sapi dijual dengan harga sekitar 300 Yen (sekitar Rp32.800) per 100 gram, naik dari sekitar 250 Yen dua tahun lalu.
Faktor-faktor seperti biaya pakan yang tinggi dan upaya pengurangan emisi metana melalui pengendalian jumlah ternak berkontribusi pada kenaikan harga ini.
Selain itu, permintaan global yang kuat dari negara-negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Meksiko meningkatkan persaingan untuk mendapatkan daging sapi AS.
Di Jepang, harga impor daging sapi AS rata-rata 985 Yen (sekitar Rp108.000) per kilogram pada tahun 2024, naik 17 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini mendorong kenaikan nilai impor daging sapi AS menjadi 474,7 miliar Yen, meningkat 16 persen.
Harga buah-buahan seperti pisang dan nanas juga meningkat akibat kekeringan parah di Filipina yang menurunkan produksi. Jepang berusaha mengimpor dari negara lain seperti Laos, Ekuador, dan Taiwan, namun pelemahan yen turut menaikkan biaya impor, dengan total impor buah meningkat 10 persen menjadi 431,6 miliar Yen.
Selain itu, biji kopi yang hampir seluruhnya diimpor, mengalami kenaikan harga akibat panen buruk di Vietnam karena curah hujan yang rendah. Nilai impor biji kopi melonjak 20 persen menjadi 244,1 miliar Yen pada tahun 2024.
Harga beras domestik juga mengalami lonjakan tajam. Pada tahun 2024, harga rata-rata beras mencapai 23.715 Yen per 60 kg, naik 55 persen dari tahun sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan oleh gelombang panas yang mempengaruhi panen, peningkatan permintaan akibat lonjakan pariwisata, dan masalah distribusi.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah Jepang berencana melepaskan hingga 210.000 ton beras dari cadangan daruratnya guna menstabilkan harga dan memastikan ketersediaan pasokan di pasar.
Dengan tingkat swasembada pangan terendah di antara negara-negara industri dan berkurangnya tenaga kerja pertanian, Jepang menghadapi tantangan serius dalam ketahanan pangan.
Para ahli menekankan perlunya kerangka kerja komunitas yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam produksi pertanian sambil mempertahankan pekerjaan utama mereka untuk meningkatkan swasembada pangan.
“Kita perlu menciptakan kerangka kerja komunitas tempat orang berpartisipasi dalam produksi pertanian sambil mempertahankan pekerjaan tetap mereka untuk mempertahankan swasembada,” kata Nobuhiro Suzuki, pakar ekonomi pertanian di Universitas Tokyo.
"Jepang perlu memutuskan apakah akan membuat kelaparan atau menanam makanan," ujarnya.
BERITA TERKAIT: