Meskipun di Jakarta dan Surabaya dilakukan operasi pasar dengan harga jual Rp29.000, namun jumlah bawang putih yang digelontorkan tidak banyak.
Bahkan, dari pantauan media, operasi pasar di Pasar Induk Sidotopo Surabaya, sepi peminat. Situasi yang sama terjadi juga di Pasar Induk Kramatjati Jakarta Timur.
Menariknya, komoditi impor yang sepenuhnya berasal dari China ini, harga di negara asalnya mulai turun, yang semula 1400 dolar AS per ton menjadi 1350 dolar AS per ton. Jika kurs dolar AS Rp16.400, berarti harga di China hanya Rp22.140 per kg, ditambah
custom clearence dan
trucking Rp1.200 per kg. Jadi seharusnya harga sampai di Indonesia hanya Rp23.340.
Atas dasar itu, Direktur Eksekutif Research Oriented Development Analysis (RODA), Ahmad Rijal Ilyas mengatakan, dari data tersebut terlihat harga bawang putih di China dan di Indonesia tidak sinkron, selisihnya terlalu besar hampir dua kali lipat.
"Seharusnya, jika harga di China turun maka di Indonesia juga ikut turun, tetapi ini justru sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa praktik permainan importasi bawang putih di dalam negeri sangat jelas sudah sedemikan parah, sehingga konsumen menjadi korban," kata Rijal kepada wartawan, Senin 17 Februari 2025.
Menurut Rijal, melambungnya harga bawang putih saat ini karena suplai di pasar sudah mulai menipis, sedangkan awal Maret sudah masuk puasa, sehingga harga terus bergerak naik.
Bahkan, berdasarkan informasi yang diterima, Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) yang sudah dikeluarkan Kementerian Pertanian sekitar 550 ribu ton kepada 87 perusahan.
Sedangkan Sistem Pengendalian Intern (SPI) yang dikeluarkan Kementerian Perdagangan baru 106 ribu ton kepada 21 perusahaan.
"Jika pengiriman dengan kapal membutuhkan waktu antara 2 sampai 4 minggu, maka kemungkinan besar harga bawang putih akan sulit turun ketika masuk puasa dan Idul Fitri," kata Rijal.
Sementara itu, Ketua Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menjelaskan, persoalan tingginya harga bawang putih disebabkan oleh tata kelola importasi yang dimonopoli, sehingga hanya orang-orang tertentu yang diizinkan melakukan importasi bawang putih.
"Karena hanya orang-orang tertentu yang diduga monopoli itu, maka mereka bisa seenaknya membentuk harga, mau ngambil untung berapapun mereka tidak masalah, karena toh mereka yang hanya bisa importasi dan berjualan sehingga meskipun harga naik atau mahal ya rakyat tetap beli karena butuh," papar Boyamin.
Sebelumnya, era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Boyamin pernah melaporkan dugaan korupsi impor bawang putih ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut dari lembaga antirasuah tersebut.
"Laporan di KPK belum ada
followup, belum ada tindak lanjut. Ya janggal juga sih karena ada dugaan korupsinya gitu ya, masa harus saya gugat praperadilan baru gerak, itu kan keterlaluan. Tapi apa boleh buat nanti kalau harus saya gugat praperadilan ya saya gugat praperadilan," kata Boyamin.
Meski demikian, Ketua MAKI tersebut ikut mendorong agar pemerintahan Prabowo Subianto saat ini dapat memperbaiki tata kelola importasi bawang putih sehingga tidak terjadi monopoli lagi.
"Saya meminta kepada pemerintahan sekarang untuk membuat tata kelola yang tidak monopoli atau dipatok harga di luar negeri berapa hanya boleh mengambil keuntungan berapa, tapi itu agak kurang mantap kalau yang paling mantap ya tidak monopoli semua orang boleh importasi bawang," kata Boyamin.
Selanjutnya, kata Rijal, sebenarnya akar persoalan melonjaknya harga bawang putih sejak dulu bersumber dari ketidakkonsistenan pemberlakuan RIPH dan SPI.
Jadwal penerbitan yang tidak teratur dan tidak transparan ke publik membuka ruang para spekulan dan praktek rekayasa harga bawang putih semakin merebak yang akhirnya terjadi disparitas harga yang tinggi antara harga di negara asal dengan harga di konsumen.
"Karena itu, sudah saatnya pemerintah mengambil pilihan lain di luar penetapan kuota yang justru menjadi sumber masalah, yakni menerapkan tarifisasi impor berdasarkan harga di negara asal dan perbandingannya dengan harga pasar riel di dalam negeri," kata Rijal.
"Melalui tarifisasi impor ini, selain pemerintah bisa memonitor langsung perkembangan harga bawang putih, juga bisa menjadi sumber pendapatan baru pemerintah untuk memulihkan kembali APBN," tutup Rijal.
BERITA TERKAIT: