Direktur Portofolio dan Pengembangan Usaha MIND ID Dilo Seno Widagdo menjelaskan, peta kolaborasi sektor tambang harus diperluas lagi hingga lintas sektor, sehingga mampu menciptakan sebuah ekosistem yang lebih lengkap dan terintegrasi.
“
Value chain sekarang sudah berubah. Tidak bisa semua perusahaan membangun smelter RKEF (rotary kiln electric furnace). Kita memang harus mau berkolaborasi. Kita punya ore, yang penting bagaimana kita bisa membangun ekosistem industri yang bisa memastikan produksi produk hilir sampai dengan baterai,” katanya kepada wartawan, Jumat (26/7).
Dilo menjelaskan, perusahaan yang memproduksi bijih tambang dapat mengirimkan produksinya ke smelter terkait. Nantinya hasil peleburan diteruskan ke smelter berikutnya untuk dimurnikan hingga kemudian berakhir sebagai produk jadi.
Menurutnya, strategi ini perlu diterapkan agar nilai tambah yang didapatkan lebih optimal. Tidak hanya memberi dampak pada ekonomi, upaya tersebut akan membuat tingkat kompetitif produk Indonesia menjadi lebih optimal.
Lebih lanjut, holding pertambangan yang beranggotakan PT Freeport Indonesia, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indonesia Asahan Aluminium serta PT Vale Indonesia Tbk (INCO) mendukung pemerintah dalam meningkatkan nilai sumber daya alam di dalam negeri.
Terlebih setelah ada klasifikasi mineral strategis dan mineral kritis, Indonesia dipandang perlu mengatur kuota ekspor komoditas yang dikirimkan ke luar negeri untuk menunjukkan posisi pertambangan Indonesia di pasar global.
“Harga timah saat ini sudah kita kontrol karena hanya 3 negara yang memproduksi. Apabila 3 negara ini tidak memproduksi, maka harga pasti akan naik. Artinya sangat mudah kita bisa mengontrol harga,” ujarnya.
Di samping itu, dalam menghadapi gejolak rantai pasok dan tingkat kompetitif produk RI di pasar dunia, Anggota Grup MIND ID terus menjaga cash cost atau biaya tunai produksi pada level yang ditentukan serta tetap efektif dan efisien.
Dalam catatan MIND ID,
cash cost Antam pada produk feronikel mencapai 12.300 dolar AS per ton, diikuti Vale Indonesia sekitar 10.000 hingga 11.000 dolar AS per ton. Secara rata-rata nasional, biaya produksi feronikel di Indonesia berada di level 11.000 hingga 12.000 dolar AS per ton.
“Perusahaan mineral tambang yang punya
cash cost rendah pasti akan
survive. Makanya dengan teknologi, pemanfaatan produk dapat dimonetisasi supaya
survive,” tuturnya.
BERITA TERKAIT: