Mengutip Reuters, Senin (1/7), tren penurunan yang selama dua bulan berturut-turut ini terjadi setelah Purchasing Managers' index (PMI) China tercatat berada di level 49,5 pada Juni, atau berada di bawah angka 50 yang menandakan adanya kontraksi di sektor tersebut.
Ekonom senior di Economist Intelligence Unit, Xu Tianchen, mengatakan permintaan eksternal dan domestik masih relatif tidak memadai untuk menyerap kapasitas manufaktur negara Tirai Bambu itu..
"Dan hal ini akan menghambat pemulihan harga produsen," ujar Xu dilansir Reuters, Minggu (30/6).
Menurut survei NBS, meskipun sub-indeks produksi berada di atas 50 pada Juni 2024, indeks pesanan baru, stok bahan mentah, lapangan kerja, waktu pengiriman pemasok, dan pesanan ekspor baru masih berada dalam wilayah kontraksi.
Adapun ekspor China sendiri dilaporkan melebihi perkiraan pada Mei, namun para analis masih belum yakin apakah tren itu dapat berkelanjutan mengingat adanya ketegangan perdagangan antara Beijing dan negara-negara Barat.
Sementara itu, krisis properti yang berkepanjangan juga disebut terus menyeret permintaan dalam negeri. Para analis memperkirakan China akan meluncurkan lebih banyak langkah-langkah dukungan kebijakan moneter dalam jangka pendek.
"Namun, ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter terbatas untuk saat ini, karena mata uang China berada di bawah tekanan," kata kepala ekonom di Guotai Junan International, Hao Zhou.
Zhou mengatakan, pemerintah pusat perlu menerbitkan lebih banyak utang di masa mendatang untuk meningkatkan permintaan domestik secara keseluruhan.
Namun utang pemerintah daerah yang tinggi dan tekanan deflasi masih membayangi prospek pemulihan ekonomi, meskipun banyak tindakan yang telah dilakukan pejabat sejak Oktober lalu untuk mengurangi ekspektasi investor dan pemilik pabrik.
BERITA TERKAIT: