Menurutnya, bea masuk 200 persen tidak menjamin efektifitas dalam menekan impor barang asal China. Malahan, kebijakan ini dinilai berpotensi menimbulkan efek domino yang merugikan industri lain dan meningkatkan impor ilegal.
"Setiap kebijakan yang dikenakan pajak sampai 200 persen, maka pasti akan banyak masuk barang ilegal," ujar Darmadi dikutip Senin (1/7).
Dengan semakin derasnya arus barang ilegal, justru industri dalam negeri akan terancam runtuh.
"Pertanyaannya apakah pemerintah siap dengan penegakkan hukumnya jika kebijakan tersebut diterapkan?" tanya Darmadi.
Ia kemudian mengungkapkan bahwa model kebijakan bea masuk 200 persen juga tidak tepat jika diterapkan secara generalisir.
Pembatasan impor dengan cara bea masuk tambahan ini lebih tepat diterapkan kepada industri padat karya seperti tekstil. Sementara untuk industri padat teknologi seperti elektronik, diperlukan strategi lain yang tidak memicu impor ilegal dan merusak iklim investasi.
Sektor industri lain yang berpotensi dirugikan oleh kebijakan ini adalah industri kosmetik dan alas kaki.
Sehingga, menurutnya, perlu pendekatan kebijakan yang berbeda untuk setiap industri.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) telah menegaskan bahwa pemerintah akan memperketat masuknya barang dari China. Salah satu caranya dengan mengenakan tarif pajak yang besar. Hal ini untuk menyikapi banjirnya impor dari negeri tirai bambu seperti termasuk pakaian, baja, tekstil, dan lain sebagainya.
Menurut Zulhas, besaran bea masuk yang akan dikenakan telah diputuskan antara 100 hingga 200 persen dari harga barang.
BERITA TERKAIT: