Kebijakan tersebut, menargetkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp12 triliun pada 2024 atau meningkat Rp1 triliun dari tahun 2021.
Ketua Front Nelayan Indonesia (FNI), Rusdianto Samawa, mengungkapkan kebijakan ini menuai polemik bagi nelayan kecil di sepanjang pesisir Indonesia.
“Kebijakan ini tak penuhi rasa keadilan. Nelayan seringkali dijadikan obyek eksploitasi dari hal terkecil hingga penarikan PNBP yang sangat merugikan dapur rumah tangga nelayan," ucap Rusdianto kepada
Kantor Berita Politik RMOL di Jakarta, Kamis (12/10).
Sementara, lanjut dia, eksploitasi penuh (
fully exploited) dan eksploitasi berlebih (
over exploited) telah berlangsung lama. Hal ini menunjukan pemerintah abaikan aspek lingkungan dan
sustainability sumber daya perikanan.
"Selama izin PIT itu diberikan kepada perusahaan dalam dan luar negeri. Selama itu pula penangkapan ikan di Indonesia mengabaikan aspek keadilan. Eksploitasi ini bentuk kezaliman yang nyata terhadap kedaulatan perikanan,” jelas Rusdianto.
“Itu membuat nelayan menjerit, harus bersaing dengan seluruh perusahaan-perusahaan oligarki dalam dan luar negeri yang mendapat izin tersebut," tegasnya.
Sambungnya, keputusan KKP tersebut, tidak bersifat keberlanjutan.
“Ini lebih pada kezaliman atas eksploitasi pada seluruh kelompok sumber daya ikan seperti pelagis besar, udang penaeid, lobster dan rajungan di semua WPP RI. Sementara seluruh jenis kelompok sumber daya ikan itu sudah sudah mengalami
fully exploited dan
over exploited. Tidak ada lagi yang berstatus moderat,” bebernya.
Rusdianto melihat lebih jauh bahwa ke depan kebijakan kelautan perikanan harus
strong sustainability, kebijakan PIT harus dibatalkan. KKP bertanggung jawab atas pelanggaran Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
“Karena telah mengabaikan prinsip penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional tidak terkecuali di bidang perikanan," tandasnya.
BERITA TERKAIT: