Kondisi ini sendiri telah diungkapkan oleh WTO. Dalam sebuah pernyataan organisasi ini memperingatkan tentang "polikrisis" - krisis yang terjadi di berbagai sistem global sehingga menghasilkan kerugian yang lebih besar - yang ditimbulkan oleh pandemi, perang di Ukraina dan inflasi, di mana faktor-faktir itu ikut melemahkan kepercayaan terhadap globalisasi.
"Dampaknya adalah semakin besarnya pengabaian terhadap peraturan perdagangan global di kalangan anggota WTO," kata organisasi itu.
Sejak akhir tahun 2019 -setelah AS memblokir penunjukan hakim baru di Badan Banding WTO karena adanya keluhan mengenai pelanggaran hukum- sekitar 29 kasus dibiarkan terbengkalai, sehingga memberikan pukulan berat terhadap sistem penyelesaian sengketa.
Mantan wakil direktur jenderal Alan Wolff pada konferensi WTO bulan lalu mendesak negara-negara untuk menunda pengajuan banding baru mulai tahun 2024, ketika anggota WTO telah berjanji untuk mengatasi masalah ini.
“Tidak ada lagi penipuan, tidak ada lagi berpura-pura mengajukan banding,” katanya.
Pembatasan impor telah berkurang sejak tahun 2018, ketika Presiden AS saat itu Donald Trump mengenakan tarif terhadap barang-barang dari Tiongkok dan negara lain, namun pembatasan ekspor telah mampu mengimbangi penurunan tarif tersebut.
Pembatasan tersebut rata-rata terjadi 21 per tahun antara tahun 2016 dan 2019, namun meningkat menjadi 139 pada tahun lalu.
Hal ini telah memicu peningkatan jumlah “kekhawatiran” yang muncul di WTO.
Sebanyak 164 anggota sepakat bahwa WTO, dengan 620 stafnya yang bertempat di gedung art-deco di tepi Danau Jenewa, memerlukan reformasi, meskipun memerlukan konsensus penuh untuk melakukan perubahan.
Reformasi akan menjadi topik utama pada konferensi tingkat menteri WTO ke-13 (MC13) pada bulan Februari mendatang.
BERITA TERKAIT: