Ketimbang Ngutang Lagi, Sri Mulyani Harusnya Genjot Penerimaan Pajak

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/ahmad-alfian-1'>AHMAD ALFIAN</a>
LAPORAN: AHMAD ALFIAN
  • Minggu, 27 Oktober 2019, 22:38 WIB
Ketimbang <i>Ngutang</i> Lagi, Sri Mulyani Harusnya Genjot Penerimaan Pajak
Presiden Jokowi bersama Menkeu Sri Mulyani/Net
rmol news logo Di tengah optimisme masyarakat melihat konsolidasi politik nasional yang kian membaik, pemerintah justru kian memperbesar rasio utang negara.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberi lampu hijau untuk menerbitkan surat utang berdenominasi valuta asing (valas) atau global bond yang ditawarkan ke investor asing.

Sri Mulyani berkilah, langkah ini diambil karena Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 mengalami defisit, sementara kebutuhan negara membengkak.

Direktur eksekutif Center For Indonesian Policy Analysis (CIPA), Iden Robert Ulum menyatakan, rencana penerbitan global bond karena alasan defisit anggaran dirasa masih terlalu dini.

"Mengingat sepanjang Agustus 2019, defisit APBN baru mencapai 1,24 persen dari yang ditargetkan pada akhir tahun (sebesar 1,84 persen),"  ujarnya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (27/10).

Meski lebih besar dari capaian tahun 2018 di bulan yang sama, Iden berpendapat, nilai ini masih seimbang dari yang ditargetkan APBN yaitu sebesar 67,3 persen dari total target defisit APBN 2019 (sebesar 1.84 persen).

Lebih lanjut, Robert juga menjelaskan Jumat  (25/10) lalu, Kementerian Keuangan mengungkapkan bahwa defisit APBN akhir tahun ini diperkirakan berada di kisaran 2 hingga 2,2 persen.

"Tentu ini tidak lepas dari kebijakan countercyclical (penyangga ekonomi) yang sedang diterapkan oleh pemerintah, " terangnya.

Kata Iden, angka real defisit APBN per Oktober 2019 belum banyak diketahui oleh publik, sehingga alasan defisit belum bisa dijadikan argumentasi untuk melakukan penambahan utang negara. Apalagi, angka rasio defisit masih di bawah ambang batas 3 persen.

"CIPA menilai belum ada alasan mendesak bagi Pemerintah untuk menaikkan utang negara yang saat ini mencapai 29,65 persen dari PDB," katanya.

Utang negara kita sudah lebih tinggi dibanding rata-rata 5 tahun terakhir (28 persen dari PDB). Tentu menjadi tidak bijak jika di awal kabinet baru, Sri Mulyani kembali harus menambah utang negara. 

Untuk itu Iden menyarankan, sudah sewajarnya pemerintah kembali meggenjot penerimaan pajak sebagai cara untuk meminimalisir defisit APBN.

Iden menyebutkan, sejak Agustus 2019, penerimaan pajak negara baru mencapai 51.5 persen dari total 1.786,4 triliun yang ditargetkan.

Bahkan CIPA mencatat, penerimaan pajak dalam sepuluh tahun terakhir selalu mengalami shortfall (realisasi lebih rendah daripada target yang telah ditetapkan).

"Melakukan optimasi penerimaan APBN dari sektor pajak untuk satu bulan kedepan, menahan keluarnya global bond, serta menunggu momentum turunnya suku bunga yang lebih rendah, menjadi keputusan paling bijak di tengah rasio utang negara terhadap PDB yang semakin membesar," demikian Iden.rmol news logo article

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA