BPKP: Proyek 65 Bendungan Pemerintah Harus Dikaji Ulang

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 15 Februari 2019, 08:20 WIB
BPKP: Proyek 65 Bendungan Pemerintah Harus Dikaji Ulang
Foto: Net
rmol news logo Proyek pembangunan 65 bendungan di sejumlah wilayah di Indonesia sebaiknya ditinjau ulang.

Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Barisan Pemeriksa Kondisi Proyek (BPKP) mendesak pemerintah mengkaji proyek 65 bendungan meskipun masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 dan telah ditetapkan sebagai proyek strategis nasional oleh Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017.

BPKP mencermati kebijakan pembangunan 65 bendungan melawan kecenderungan di sejumlah negara di Amerika, Eropa, dan Asia yang justru mulai merekayasa ulang dan bahkan menghancurkan bendungan.

Didorong oleh gerakan kampanye kelompok akar rumput, negara-negara tersebut menyadari bendungan sudah tak relevan lagi dengan perkembangan zaman.

Selain pemeliharaanya berbiaya mahal, risiko bencana yang bisa dipicunya akibat kegagalan struktur, dan adanya keinginan kuat untuk merehabilitasi lingkungan, terutama sungai-sungai yang kondisinya kritis karena dibendung.

Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pemanfaatan Bendungan untuk Irigasi dan Penyediaan Air Baku yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 22 Februari 2018 mengungkap sejumlah permasalahan dalam proyek 65 bendungan.

Permasalahan tersebut antara lain penyelesaian proyek yang meleset dari target, pemeliharaan yang tidak memadai, penolakan masyarakat, dan keterlambatan pembayaran kompensasi atas tanah masyarakat.

Menurut BPK, dari 29 bendungan yang pembangunannya direncanakan selesai pada 2019 dalam Rencana Strategis 2015-2019 Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, hanya tujuh bendungan yang pembangunannya telah dirampungkan per akhir November 2017.

BPK juga menemukan pemeliharaan bendungan yang telah selesai tidak memadai. Bahkan ada yang belum dilengkapi dengan jaringan irigasi. Akibatnya pemanfaatan bendungan untuk mengairi persawahan dan menyediakan air baku bagi masyarakat menjadi tak optimal.

BPK pun mencatat keberatan dan penolakan masyarakat atas sejumlah proyek bendungan.

Di Karangasem, Bali, masyarakat menolak pembangunan Bendungan Telagawaja karena proyek bisa menghancurkan sawah yang masih produktif, usaha arung jeram, dan sebuah pura tempat ibadah. Lebih ironis, pembangunan Bendungan Telagawaja dinilai oleh Badan Lingkungan Hidup Bali tak layak lingkungan.

Sementara itu, observasi lapangan BPKP atas proyek Bendungan Ciawi di Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, menemukan keresahan warga di sekitar lokasi proyek.

Mereka resah karena 270 keluarga yang tanahnya masuk area proyek belum menerima kompensasi.

"Mereka juga cemas Bendungan Ciawi tak cukup efektif menampung banjir yang biasanya mengalir ke Jakarta. Ini karena curah hujan ekstrem tiap awal tahun di kawasan itu dan potensi tingginya sedimentasi akibat kontur tanah rawan lonsor sementara tinggi bendungan hanya 55 meter," papar Ketua Presidium BPKP, Rusmin Effendy di Jakarta.

BPKP meminta pemerintah untuk tidak mengejar tenggat penyelesaian proyek, terlebih jika percepatan bertujuan semata politik elektoral pada 2019.

Pemerintah harus memastikan setiap proyek bendungan disosialisasikan kepada masyarakat, terutama mereka yang terdampak oleh proyek.

"Sosialisasi harus melibatkan partisipasi aktif, terbuka, dan sejajar dari masyarakat, bukan sekadar formalitas pemenuhan syarat analisis dampak lingkungan," ujarnya lebih lanjut.

Pemerintah juga harus mengkaji alternatif dari bendungan untuk memenuhi kebutuhan layanan irigasi, menyediakan air baku, dan mengendalikan banjir, mengingat dampak sosial dan lingkungan yang bisa diakibatkan oleh suatu bendungan.

"Alternatif itu harus lebih dulu dilakukan sebelum memutuskan untuk membangun bendungan, seperti mengatasi deforestasi dan degradasi daerah aliran sungai untuk mengendalikan banjir," terangnya.

Proyek bendungan harus dipastikan memiliki manfaat yang besar terhadap warga di hulu, sekitar, dan hilir bendungan.

"Pemerintah tak boleh berpuas diri hanya dengan membayar kompensasi finansial mengingat warga telah merelakan lahan mereka, mata pencaharian, dan lingkungan sosial-budaya demi pembangunan bendungan," ujarnya.

Terpenting pula, kata Rusmin, setiap proyek bendungan harus memenuhi syarat-syarat ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, seperti adanya analisis dampak lingkungan terbaru, persetujuan warga, dan kesesuaian dengan tata ruang dan wilayah.

"Jangan hanya karena ini proyek strategis nasional, hal-hal tersebut diabaikan," tegasnya.

Terakhir, lanjut Rusmin, pemerintah harus memastikan bahwa operasi bendungan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem sungai, baik di hulu, bantaran, maupun hilir.
 
"Jika, operasi bendungan ternyata merusak ekosistem, Pemerintah harus siap untuk merekayasa ulang bendungan atau bahkan menghancurkannya," tandasnya.[wid]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA