Ekonom
Institute for DeÂvelopment of Economics and Finance (Indef) Bhima YuÂdhistira Adhinegara menilai, penurunan peringkat kemudaÂhan berbinis bisa dipastikan bakal mempengaruhi minat investasi.
"Daya tarik investor menaÂnamkan uangnya di indonesia tentu akan berkurang. Risiko lainnya bisa berupa relokasi industri (investor) ke negara lain seperti Vietnam, Malaysia dan Thailand," ungkap Bhima kepada
Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.
Bhima menuturkan, realisasi investasi di sebuah negara bisa menjadi ukuran kemudahan berbisnis. Menurutnya, penuÂrunan realisasi investasi asing pada kuartal III-2018 sebesar 1,6 peren bisa menjadi indikator bahwa ada persoalan di sini.
Dia melihat, realisasi investasi turun karena implementasi 16 paket kebijakan tidak bekerja dengan optimal. Selain itu, proÂgram
Online Single Submission (OSS) yang digadang-gadang sebagai upaya mempermudah perizinan ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan.
"Ada persolaan koordinasi antar instansi terkait sehingga membuat implementasi dan eksekusinya membingungkan," imbuhnya.
Jika tidak dilakukan perbaikan, lanjut Bhima, kinerja investasi bakal semakin berat. Apalagi, perputaran dana inÂvestasi sekarang sedang seret akibat Amerika Serikat (AS) melakukan normalisasi kebiÂjakan moneter. Semua negara berkembang berebut dana inÂvestasi. Padahal sisi lain, porsi investasi penting bagi Indonesia karena nilainya mencapai 31 persen terhadap
product domesÂtic bruto (PDB).
Sementara itu, Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani optimistis, penurunan peringkat kemudaÂhan berbisnis Indonesia tidak berdampak besar terhadap minat investasi asing.
"Peringkat investasi itu dibuat hanya melihat indikator dua kota saja, Jakarta dan Surabaya. Saya yakin tidak berdampak besar terhadap investasi asing," ungkap Shinta.
Namun demikian, Shinta meÂminta pemerintah tetap melakuÂkan evaluasi terhadap penurunan peringkat kemudahan berbisnis. Karena, kenyataannya, investor banyak lebih tertarik masuk ke Vietnam. Menurutnya, hal itu terjadi tidak lepas dari kemudahan perizinan diberikan negara tersebut.
"Investor masih jauh lebih mudah ke Vietnam dibandingkan ke Indonesia. Kita disini masih menghadapi banyak isu mulai dari perizinan, regulasi, dan tenaga kerja," paparnya.
Misalnya soal perizinan, papar Shinta, realisasi OSS belum berjalan mulus. Koordinasi untuk mengimplementasikan OSS antara pemerintah pusat dan daerah tidak berjalan baik. Padahal, jika OSS berjalan dengan baik sangat bisa memÂbantu Indonesia mengerek perÂingkat kemudahan bisnis.
"Banyak aturan tumpang tinÂdih. Makanya kita jadi last competitive. Kita harapkan OSS bisa jadi solusi," pungkasnya.
Seperti diketahui, Wolrd Bank (Bank Dunia) baru-baru ini merilis peringkat kemudahan berbisnis. Indonesia berada di posisi 73. Turun satu peringÂkat dari tahun ini di urutan ke 72 dari 190 negara. Meskipun jika dilihat dari sisi skor, naik 1,42 persen dari 66,54 menjadi 67,96. Di tingkat ASEAN, Indonesia Kalah dari Vietnam di peringkat 69, Thailand di urutan 27, Malaysia di posisi 15, dan Singapura peringkat 2.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste Rodrigo A. Chaves mengungkapkan, peringkat Indonesia turun karena peningÂkatan skor kemudahan berbisnis Indonesia tidak sebesar capaian beberapa negara lain.
"Jika dibandingkan sebelumnya, kenaikan skor Indonesia juga cukup rendah. Tahun lalu peningkatan skor mencapai 66 persen, tahun ini hanya 1,42 persen saja," ungkap Chaves. ***
BERITA TERKAIT: