Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri melihat, rupiah mengalami tekanan setidaknya hingga Juni 2019. Sebab Bank sentral Amerika Serikat (AS),
The Federal Reserve (
The Fed) agresif menaikkan suku bunga acuan.
"Banyak orang berharap ruÂpiah akan terjadi penguatan, kaÂlau saya tidak. Tidak perlu panik karena, pergerakan rupiah sekaÂrang mengikuti perkembangan gerakan mata uang dunia," ujar Chatib Basri di Jakarta, keÂmarin.
Dia menerangkan, pada peÂriode 2007-2008 suku bunga acuan
The Fed berada pada level 3,5 persen. Tapi, saat terjadi krisis global membuat
The Fed menurunkan bunga hingga 0,25 persen untuk mendorong aliran modal keluar dan memacu perÂekonomian. Dalam sepuluh tahun terakhir, perekonomian dunia hidup dengan bunga rendah. Sedangkan sekarang, ekonomi AS mulai pulih. Hal itu terlihat dari jumlah pengangguran yang menurun dan inflasi meningkat.
The Fed pun kembali melakuÂkan penyesuaian. The Fed akan mengembalikan posisi suku bunga dalam keadaan semula. Jika saat ini suku bunga acuan 2,25 persen maka
The Fed akan menaikkan suku bunga beberapa kali lagi hingga mendekati 3,5 persen.
"Artinya tahun ini Fed harus menaikkan setidaknya satu kali lagi, tahun depan dua atau tiga kali. Kalau saya bikin sekali naik 25 basis poin maka Fed Fund Rate pada akhir 2019 pada kisaran 3,25 atau mungkin 3 persen," terangnya.
Chatib menilai, meskipun nilai tukar rupiah melemah, IndoÂnesia tidak sampai mengalami krisis keuangan. Sebab Bank Indonesia (BI) terus merespons kenaikan suku bunga
The Fed.
Selain itu, lanjut Chatib, masyarakat Indonesia sudah dewasa merespons turun naik kurs. Tidak panik. Karena masyarakat sudah terbiasa dengan naik turunnya kurs.
Menurut Chatib, nilai tukar rupiah rentan melemah karena saat ini kebanyakan obligasi atau bond Indonesia dipegang oleh asing. Maka diharapkan kepemilikan lokal ke depan bisa lebih besar.
Chatib juga menilai
Current Account Deficit (CAD) yang melebar hingga tiga persen. Penyebabnya defisit di sektor minyak dan gas. "Seharusnya kenaikan harga minyak dunia ikut disesuaikan harga BBM-nya, tapi praktiknya sampai 2019 harga BBM di Indonesia tidak naik," tuturnya.
Baru Permulaan Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Ramli memiliki padangan serupa dengan Chatib. Menurut Rizal, potensi pelemahan rupiah masih terus berlanjut.
"Apakah nilai rupiah Rp 15.000 per dolar AS sudah menÂcapai akhir? Kami mohon maaf, tidak. Ini baru permulaan," tegas Rizal Ramli.
Selain faktor kebijakan
The Fed, Rizal menilai, tekanan ruÂpiah juga dipicu dampak perang dagang, dan defisit transaksi berjalan.
Rizal menilai, rupiah mengalami pelemahan karena langÂkah diambil pemerintah selalu terlambat sejak dua tahun lalu. "Pernyataan resmi (pemerinÂtah) selalu menakjubkan. Tapi ekonomi nyungsep, stagnan 5 persen," sindir Rizal.
Dia mencontohkan, upaya pengendalian ribuan barang impor konsumsi. Menurutnya, kebijakan tersebut tidak berÂdampak signifikkan dan malah membebani pelaku usaha kecil. "Menteri ekonomi tidak berani menghadapi yang gede-gede. Beraninya sama yang kecil-kecil," cetusnya.
Rizal menilai, untuk menÂjaga nilai tukar rupiah, IndoÂnesia membutuhkan stabilitas baru. Sebuah terobosan besar yang bisa mendongkrak kinerja ekonomi. Hal itu bisa dilakukan hanya dengan mengambil langÂkah besar dan berani.
Tekanan Menurun Gubernur BI Perry Warjiyo mengamini tekanan rupiah masih akan terjadi hingga tahun depan. Hanya saja, dia memperkirakan tekanannya akan berkurang. Pertama, kenaikan suku bunga acuan
The Fed tahun depan ntidak akan sebesar tahun ini. Kedua, tekanan terhadap nilai tukar rupiah akan berkurang karena investor tidak akan seÂlamanya memegang tunai atau dolar AS.
"Saat ini sudah banyak invesÂtor global yang sudah menanamÂkan kembali dananya ke banyak emerging market termasuk ke Indonesia," ungkapnya
Dengan demikian, lanjut Perry, neraca perdagangan Indonesia akan menjadi lebih baik. Sehingga cadangan devisa bertamÂbah. Dan, ketiga, defisit transaksi berjalan seiring kebijakan yang sudah diambil pemerintah berÂsama BI. ***
BERITA TERKAIT: