Pemerintah sudah mengeÂluarkan izin impor beras keÂpada Perum Bulog. Penugasan itu yang kedua kalinya tahun ini. Sebelumnya, Bulog sudah melakukan impor 1 juta ton. Impor itu sudah direalisasikan pada bulan Februari 2018 sebeÂsar 500 ribu ton. Dan, Mei 2018 sebesar 500 ribu ton.
Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengungkapkan, keputusan penamÂbahan impor beras ditetapkan dalam Rapat Koordinasi TerbaÂtas (Rakortas) pada pertengahan tahun 2018.
"Rakortas dipimpin Menko Perekonomian (Darmin NaÂsution). Semua hadir, saya, ada Menteri Pertanian (Amran Sulaiman), Dirut Bulog (Budi Waseso), dan perwakilan dari Kementerian Badan Usaha MiÂlik Negara (BUMN)," ungkap Enggar di Jakarta, kemarin.
Enggar menjelaskan, beÂras impor tersebut digunakan untuk cadangan. Beras akan digelontorkan ke pasar jika diperlukan.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke NurÂwan memastikanm impor beras dilakukan dengan mempertimÂbangkan stok cadangan beras di dalam negeri.
"Stok cadangan beras yang dimiliki Bulog hanya 900 ribu ton. Perkiraaan kebutuhan 2 juta ton sudah diproyeksi sejak awal tahun," ungkapnya.
Sebenarnya, lanjut Oke, Bulog hanya diberikan waktu sampai Agustus untuk merealisasikan semua jatah impor beras pada tahun ini hingga 2 juta ton.
Namun, karena belum seÂmuanya terealisasi, Bulog mengajukan perpanjang waktu izin impor 1 juta ton lagi sampai akhir September.
Petani Kecewa Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) WiÂnarno Tohir resah dengan kebiÂjakan penambahan impor beras. Sebab, bisa dipastikan keputusan itu merugikan petani. Apalagi pada saat realisasi beras impor tahap Idan II, harga gabah menurun.
"Kami khawatir kalau ada tambahan beras impor 1 juta ton lagi, harga Gabah Kering Panen (GPK) akan jatuh," ungkap Winarno.
Padahal, lanjut Winarno, saat ini petani sedang menikmati harga gabah kering panen yang lumayan yakni Rp 4.500-Rp 5.000 per kilogram (Kg).
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso juga memiliki kekhaÂwatiran yang sama. Menurutnya, banyaknya beras impor akan memberikan dampak psikologis ke petani.
"Harga beras di dalam negeri mungkin turun tapi harga gabah masih tinggi. Kalau harga gabah turun, petani juga tidak mau menanam padi," ujar Sutarto.
Seharusnya, lanjut Sutarto, sebelum memutuskan impor beras, pemerintah terlebih daÂhulu melihat perkembangan stok dan produksi beras dalam satu hingga dua bulan terakhir.
"Apakah stok beras Bulog cukup? Harga bergerak naik atau tidak? Apakah produksi beras mencukupi. Kalau semuanya terkendali, untuk apa impor lagi," tegasnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak Januari hingga Juli 2018, realisasi impor beras Bulog sudah mencapai 1,18 juta ton dengan nilai 552,87 juta dolar Amerika Serikat (AS).
Sementara itu, stok di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) yang kerap dijadikan acuan BaÂdan Ketahanan Pangan (BKP), stok akhir beras di PIBC per 19 Agustus 2018 sebesar 40.343 ton. Seperti yang sudah-sudah polemik impor beras diikuti dengan tuntutan pembenahan data produksi pangan.
Baru-baru ini, Anggota Komisi IV DPR Ono Surono mendesak pemerintah membenahi data produksi agar pengambilan keÂbijakan bisa dilakukan dengan tepat. ***
BERITA TERKAIT: