Satgas Imbau Masyarakat Waspadai Fintech Abal-abal

Layanan Kredit Digital China Serbu RI

Senin, 30 Juli 2018, 11:20 WIB
Satgas Imbau Masyarakat Waspadai Fintech Abal-abal
Foto/Net
rmol news logo Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat 227 perusahaan platform financial technology (fintech) peer to peer (P2P), yang sebagian besar berasal dari China, merupakan fintech ilegal alias bodong.

 Dari jumlah 227 platform fintech ilegal tersebut, sekitar 155 berasal dari pengembang tidak terdaftar. Satgas Waspada Investasi mengaku telah meminta Kemente­rian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), untuk memblokir se­mua serbuan platform dari Negeri Tirai Bambu tersebut.

Ketua Satgas Waspada In­vestasi dan Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan OJK Tongam L Tobing mengatakan, pihaknya juga berkoordinasi dengan Google serta e-com­merce, seperti Bukalapak dan Tokopedia untuk memblokir fintech ilegal tersebut dari plat­form mereka.

"Bukan hanya dari China, se­lain itu ada dari Malaysia. Tapi lebih dari setengahnya, kira-kira 85 persen dari China," terang Tongam di Jakarta, kemarin.

Tongam merinci, pada 19 Februari 2018 lalu, Satgas sudah memanggil perwakilan fintech ilegal tersebut. Untuk melegalkan usahanya, mereka diminta untuk mendaftar di OJK. Tak mendapat respons, OJK kembali memanggil mereka pada 25 Juli 2018 guna memberitahukan pemblokiran.

Selain itu, OJK melapor­kan seluruh fintech P2P lending ilegal tersebut ke Badan Re­serse Kriminal Polri (Bareskrim Polri). Saat ini OJK tengah melakukan pembicaraan dengan perbankan agar menutup akun rekening yang digunakan oleh fintech ilegal itu. Bahkan OJK bakal meminta mereka memenuhi syarat-syarat, sehingga perbankan mau tidak mau harus memblokir rekening.

Pihaknya memperkirakan, dari 227 fintech P2P lending ilegal tersebut, masing-masing platform bisa memiliki sekitar 100 ribu anggota. Jika dijum­lah, anggota atau nasabah bisa mencapai jutaan. "Ini sangat po­tensial merugikan konsumen," imbuhnya.

Tongam tak dapat memastikan jumlah pasti nasabah, karena posisi ilegal fintech-fintech itu membuat OJK tak memiliki daf­tar nasabah serta informasi lain terkait kegiatan perusahaan.

Karena itu ia mengimbau masyarakat, untuk memastikan betul latar belakang perusahaan fintech sebelum memberi pinjaman maupun meminjam uang. Pastikan perusahaan itu kredibel dan yang terpenting sudah ter­daftar di OJK.

Tongam menyebut, ada beberapa dampak negatif dari fintech ilegal. Pertama, dapat digunakan unruk tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme. Kedua, data dan informasi peng­guna dapat disalahgunakan.

"Tidak adanya perlindungan bagi konsumen akibat perusahaan­nya abal-abal, negara bisa merugi, karena tidak ada potensi peneri­maan pajak. Jelas bisa menimbul­kan ketidakpercayaan masyarakat untuk P2P ini," sebut Tongam.

Direktur Hubungan Masyarakat OJK Agustinus Hari Tang­guh Wibowo menambahkan, penelusuran fintech-fintech na­kal ini sudah dilakukan sejak Desember 2016 lalu, atau ketika Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi.

Ke depan, penelusuran akan tetap dilanjutkan oleh Satgas Waspada Investigasi OJK yang di dalamnya termasuk Kemen­terian Kominfo.

"Selain itu, Google akan membantu Satgas Waspada Investigasi untuk menelusuri fintech P2P lending yang ilegal. Keyword seperti pinjaman, fintech, dan yang lain itu akan terdeteksi," katanya.

Meski begutu, hingga saat ini belum ada aduan dari masyarakat mengenai fintech ilegal tersebut. Namun ke depan, jika ditemukan adanya konsumen yang dirugi­kan, maka kasus ini akan dibawa ke ranah hukum.

Hingga Juni 2018, OJK men­catat fintech P2P lending sudah menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp 6 triliun per Juni 2018. Sementara jumlah fintech P2P lending yang terdaftar sebanyak 64 perusahaan.

Menyoal ini, CEO Modalku Reynold Wijaya mengaku tak khawatir, bila pelaku fintech P2P lending Tiongkok yang hadir memiliki peforma yang baik.

"Yang kami tidak mau kalau platform liar yang masuk. Se­hingga peran penting regulator dan para platform yang kredible untuk bekerja sama menciptakan industri yang sehat," ucapnya kepada Rakyat Merdeka.

Di kesempatan berbeda, Co Founder & CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengakui, memang beberapa fintech P2P lending asal China mulai datang ke Indonesia.

Menurut Ivan, serbuan fintech dari China, rata-rata menggarap segmen mikro atau pinjaman un­tuk konsumsi. Pemain di segmen tersebut sudah sangat ramai.

"Kalau ada fintech P2P lend­ing yang masuk lagi, semesti­nya pemain besar. Kami pun berusaha tetap fokus di segmen menengah ke atas. Jadi fokus dan target yang berbeda tak menjadikan hal ini begitu mengkha­watirkan. Inovasi dalam bisnis sangat diperlukan agar tetap sustain," tuturnya. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA