Dari jumlah 227 platform fintech ilegal tersebut, sekitar 155 berasal dari pengembang tidak terdaftar. Satgas Waspada Investasi mengaku telah meminta KementeÂrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), untuk memblokir seÂmua serbuan platform dari Negeri Tirai Bambu tersebut.
Ketua Satgas Waspada InÂvestasi dan Direktur Kebijakan dan Dukungan Penyidikan OJK Tongam L Tobing mengatakan, pihaknya juga berkoordinasi dengan Google serta e-comÂmerce, seperti Bukalapak dan Tokopedia untuk memblokir fintech ilegal tersebut dari platÂform mereka.
"Bukan hanya dari China, seÂlain itu ada dari Malaysia. Tapi lebih dari setengahnya, kira-kira 85 persen dari China," terang Tongam di Jakarta, kemarin.
Tongam merinci, pada 19 Februari 2018 lalu, Satgas sudah memanggil perwakilan fintech ilegal tersebut. Untuk melegalkan usahanya, mereka diminta untuk mendaftar di OJK. Tak mendapat respons, OJK kembali memanggil mereka pada 25 Juli 2018 guna memberitahukan pemblokiran.
Selain itu, OJK melaporÂkan seluruh fintech P2P lending ilegal tersebut ke Badan ReÂserse Kriminal Polri (Bareskrim Polri). Saat ini OJK tengah melakukan pembicaraan dengan perbankan agar menutup akun rekening yang digunakan oleh fintech ilegal itu. Bahkan OJK bakal meminta mereka memenuhi syarat-syarat, sehingga perbankan mau tidak mau harus memblokir rekening.
Pihaknya memperkirakan, dari 227 fintech P2P lending ilegal tersebut, masing-masing platform bisa memiliki sekitar 100 ribu anggota. Jika dijumÂlah, anggota atau nasabah bisa mencapai jutaan. "Ini sangat poÂtensial merugikan konsumen," imbuhnya.
Tongam tak dapat memastikan jumlah pasti nasabah, karena posisi ilegal fintech-fintech itu membuat OJK tak memiliki dafÂtar nasabah serta informasi lain terkait kegiatan perusahaan.
Karena itu ia mengimbau masyarakat, untuk memastikan betul latar belakang perusahaan fintech sebelum memberi pinjaman maupun meminjam uang. Pastikan perusahaan itu kredibel dan yang terpenting sudah terÂdaftar di OJK.
Tongam menyebut, ada beberapa dampak negatif dari fintech ilegal. Pertama, dapat digunakan unruk tindak pidana pencucian uang atau pendanaan terorisme. Kedua, data dan informasi pengÂguna dapat disalahgunakan.
"Tidak adanya perlindungan bagi konsumen akibat perusahaanÂnya abal-abal, negara bisa merugi, karena tidak ada potensi peneriÂmaan pajak. Jelas bisa menimbulÂkan ketidakpercayaan masyarakat untuk P2P ini," sebut Tongam.
Direktur Hubungan Masyarakat OJK Agustinus Hari TangÂguh Wibowo menambahkan, penelusuran fintech-fintech naÂkal ini sudah dilakukan sejak Desember 2016 lalu, atau ketika Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang layanan pinjam meminjam berbasis teknologi informasi.
Ke depan, penelusuran akan tetap dilanjutkan oleh Satgas Waspada Investigasi OJK yang di dalamnya termasuk KemenÂterian Kominfo.
"Selain itu, Google akan membantu Satgas Waspada Investigasi untuk menelusuri fintech P2P lending yang ilegal. Keyword seperti pinjaman, fintech, dan yang lain itu akan terdeteksi," katanya.
Meski begutu, hingga saat ini belum ada aduan dari masyarakat mengenai fintech ilegal tersebut. Namun ke depan, jika ditemukan adanya konsumen yang dirugiÂkan, maka kasus ini akan dibawa ke ranah hukum.
Hingga Juni 2018, OJK menÂcatat fintech P2P lending sudah menyalurkan pembiayaan lebih dari Rp 6 triliun per Juni 2018. Sementara jumlah fintech P2P lending yang terdaftar sebanyak 64 perusahaan.
Menyoal ini, CEO Modalku Reynold Wijaya mengaku tak khawatir, bila pelaku fintech P2P lending Tiongkok yang hadir memiliki peforma yang baik.
"Yang kami tidak mau kalau platform liar yang masuk. SeÂhingga peran penting regulator dan para platform yang kredible untuk bekerja sama menciptakan industri yang sehat," ucapnya kepada
Rakyat Merdeka. Di kesempatan berbeda, Co Founder & CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengakui, memang beberapa fintech P2P lending asal China mulai datang ke Indonesia.
Menurut Ivan, serbuan fintech dari China, rata-rata menggarap segmen mikro atau pinjaman unÂtuk konsumsi. Pemain di segmen tersebut sudah sangat ramai.
"Kalau ada fintech P2P lendÂing yang masuk lagi, semestiÂnya pemain besar. Kami pun berusaha tetap fokus di segmen menengah ke atas. Jadi fokus dan target yang berbeda tak menjadikan hal ini begitu mengkhaÂwatirkan. Inovasi dalam bisnis sangat diperlukan agar tetap sustain," tuturnya. ***
BERITA TERKAIT: