Berdasarkan Kurs Referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) BI, rupiah berada di angka Rp 13.872 per dolar AS kemarin. Rupiah menguat jika dibandingkan dengan patokan pada Kamis (31/5) yang tercatat Rp 3.951 per dolar AS.
Analis Senior Binaartha SekuÂritas Reza Priyambada melihat, rupiah mampu kembali mengaÂlami kenaikan seiring imbas dari penguatan Euro, pasca kisruh politik di Italia mulai mereda.
Selain itu, kata Reza, adanya prediksi dari lembaga keuangan asing yang menilai penguatan dolar AS terhadap rupiah tidak akan berlangsung lama.
"Hal itu turut memberikan angin segar, sehingga rupiah dapat memanfaatkannya untuk kembali bergerak positif," ucap Reza kepada
Rakyat Merdeka. Bahkan Morgan Stanley perÂnah memberikan keyakinan, bahwa yield US Treasury 10 tahun, sepertinya tidak akan berÂtahan di atas 3 persen dan akan turun ke 2,85 persen pada kuarÂtal keempat 2018 dan ke 2,75 persen pada kuartal II-2019.
Terpisah, Chief Economist PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede mengatakan, faktor domestik dan musim pembayaran dividen yang akan berakhir, bakal memberikan sentimen positif, yang pada akhirnya mampu menopang rupiah. Sehingga mata uang Garuda tak tertekan terlalu dalam.
Meski begitu, imbuhnya, poÂtensi rupiah sedikit melemah juga masih bisa terjadi, lanÂtaran pelaku pasar menanti hasil pertemuan rapat terbuka bank sentral Amerika Serikat (
The Federal Reserve/The Fed) atau Federal
Open Market Committee (FOMC) pada 12-13 Juni 2018.
Ia memperkirakan, bank senÂtral AS atau
The Federal Reserve akan menaikkan suku bunga 25 bps pada pertemuan terseÂbut. Apalagi, dari notulensi pada pertemuan Mei cenderung dovish. Dan pada FOMC menÂdatang, pasar perkirakan ada kenaikan suku bunga satu kali lagi pada Juni 2018.
"Diperkirakan kenaikan FFR sebanyak tiga kali pada 2018. Ini yang akan menopang dolar Amerika Serikat," ucapnya.
Dengan adanya sentimen itu, sambung Josua, membuat pelaku pasar menanti rilis data ekonomi, yakni neraca perdaÂgangan dan transaksi berjalan. Ini akan kembali memicu rupiah masih akan berada di posisi Rp 13.900-14 ribu per dolar AS.
Gubernur BI Perry Warjiyo sendiri meyakinkan, pihaknya akan meningkatkan pengawasan dan mitigasi terhadap potensi keluarnya modal asing, yang bisa menggerus nilai tukar ruÂpiah terutama jelang FOMC pada pertengahan bulan ini.
"Jika ingin melakukan respon cepat, Rapat Dewan Gubernur bisa ditambah. Di samping juga sekaligus langkah
pre-emptive (antisipasi) serta ahead the curve (tantangan yang akan datang) unÂtuk FOMC nanti," ucap Perry.
Menurut Perry, BI akan tetap memperkuat dan mengoptimalkan intervensi ganda yang sudah dilakuÂkan sejak 2013. Tak hanya itu, BI juga memastikan suplai dolar dan valuta asing tetap aman serta menÂjaga stabilitas pasar surat berharga.
"Kami juga menjaga kecukupan likuiditas, baik valas maupun ruÂpiah. Serta melakukan komunikasi yang intensif dengan pelaku pasar, perbankan, dunia usaha, juga ekonom untuk membangun eksÂpektasi yang rasional," tuturnya.
Antisipasi Perbankan Direktur Manajemen Risiko PT Bank Negara Indonesia (PerÂsero) Tbk Bob Tyasika Ananta mengakui, masih rentannya ruÂpiah, memang berpengaruh pada bisnis treasury. Saat ini bisnis tersebut di bank terbagi menÂjadi dua. Pertama adalah bisnis treasury untuk mengamankan kekayaan bank.
Sedangkan fungsi kedua adaÂlah sebagai unit bisns yang menghasilkan keuntungan.
"Namun sebagai unit bisnis, biasanya manajemen di treasury sudah mengantisipasi terkait fluktuasi kenaikan dan penuÂrunan nilai tukar," katanya saat ditemui
Rakyat Merdeka. Sehingga, kata Bob, meskipun nilai tukar melemah atau menguat, bisnis
treasury tetap bisa menghasilkan keuntungan.
Fee based income (pendapatan nonÂbunga) dari treasury, diperkiraÂkan akan mengalami kenaikan seiring fluktuasi kurs.
Selain itu, bisnis yang berpoÂtensi terdorong pelemahan ruÂpiah adalah bisnis hedging atau nilai lindung mata uang.
"Hal ini karena dengan peleÂmahan rupiah, diproyeksi layanan hedging nasabah akan naik. Saat ini sebagai gambaran, portofolio valas menyumbang 15 persen dari total bisnis BNI," tuturnya. ***
BERITA TERKAIT: