Name dropping adalah tindakan mengutip pemikiran orang terkenal dengan tujuan memberikan impresi kepada pendengar atau pembacanya.
Suatu waktu si rekan ini (penulis sengaja menyembunyikan identitas yang bersangkutan) melakukan verifikasi terhadap name dropping Chatib dengan membaca buku orang terkenal yang dikutip Chatib. Ternyata, setelah membaca buku yang dimaksud, kesimpulan si orang terkenal sebenarnya sama sekali bertentangan dengan yang disampaikan Chatib. Ini berarti Chatib tidak benar-benar membaca buku pemikiran si orang terkenal ini dan hanya mengutip satu dua kalimat yang kira-kira mendukung tulisan atau pemaparan Chatib.
Pada tahun 2005, Chatib Basri bersama sejumlah tokoh liberal yang difasilitasi Freedom Institute, beriklan di harian-harian nasional menyatakan "mendukung kenaikan harga BBM karena akan mengurangi kemiskinan." Dengan menyatakan kebijakan kenaikan harga BBM akan mengurangi kemiskinan, Chatib Basri telah melakukan penyesatan publik. Karena faktanya jumlah penduduk miskin dari tahun 2005 ke 2006 bertambah 4,2 juta jiwa (dari 35,1 juta jiwa tahun 2005 ke 39,3 juta jiwa tahun 2006).
Tahun berikutnya, 2006, Chatib Basri diganjar jabatan sebagai Staf Khusus Menteri Keuangan Sri Mulyani hingga 2010. Semasa periode ini Chatib seharusnya ikut terlibat dalam kebijakan Sri Mulyani yang memasang bunga (kupon) surat utang ketinggian 2-3 persen di atas Vietnam dan Filipina, negara yang memiliki rating sama atau lebih buruk dari Indonesia. Akibat memasang kupon ketinggian, Indonesia terindikasi merugi ratusan triliun selama periode 2006-2010.
Kebijakan bunga ketinggian ini dikoreksi pada era Menkeu Agus Martowardoyo, 2010-2013. Di bawah Agus Marto, bunga surat utang Indonesia dapat turun hingga 1 persen di bawah Vietnam dan setara dengan Filipina. Tetapi ketika Chatib menjabat Menkeu pada Mei 2013 hingga Oktober 2014 bunga surat utang kembali naik jauh di atas Filipina dan menyusul Vietnam. Menkeu Chatib mengembalikan kebijakan bunga tinggi untuk surat utang Indonesia.
Chatib Basri juga mewariskan kepada pemerintah Jokowi suatu kondisi makro ekonomi triple deficit yaitu defisit neraca perdagangan, defisit transaksi berjalan, dan defisit APBN. Neraca perdagangan tahun 2014 tercatat defisit USD 1,89 miliar. Transaksi berjalan sepanjang tahun 2014 tercatat defisit USD 26,33 miliar. APBN (perubahan) 2014 mencatat defisit Rp 227,3 triliun (2,36 persen PDB). Selama Chatib menjabat juga perekonomian justru mengalami perlambatan dari 5,6 persen (2013) menjadi 5 persen (2014).
Bila benar seorang macro economist piawai, Chatib seharusnya dapat mengatasi triple deficit dan mengangkat pertumbuhan ekonomi selama dirinya menjabat menkeu.
Jadi berdasarkan rekam jejaknya, inilah kira-kira bahaya Chatib Basri; kebiasaan name dropping, penyesatan publik, kebijakan bunga tinggi, dan inkompetensi sebagai seorang macroeconomist.
[***]
(Penulis adalah peneliti dari Lingkar Studi Perjuangan)
BERITA TERKAIT: