Ketua Asosiasi Fastener InÂdonesia (AFI) Rahman Tamin mengatakan, Permendag 22 mengancam industri baja dan besi lokal. AFI sendiri memiliki anggota 15 perusahaan yang memproduksi sekrup, baut, mur, paku dan komponen otomotif dengan jumlah tenaga kerja mencapai 6.000 orang
"Kami khawatir akan memÂbanjirnya produk jadi dari indusÂtri hilir yang didatangkan oleh importir umum untuk keperluan diperdagangkan. Ini mengancam industri kita," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, Permendag 22 yang menghapuskan adanya pertimbangan teknis dari KeÂmenterian Perindustrian (KeÂmenperin) dalam proses impor akan membuat pasokan sulit dikontrol. Pertimbangan masih dibutuhkan untuk mengetahui kebutuhan baja dan besi nasional agar impor tidak berlebihan.
Apabila dalam pengajuan perizinan impor oleh importir umum tidak dikendalikan, imÂportasi produk jadi dari besi dan baja akan melimpah dan mengancam industri dalam negeri. "Apalagi, pengawasan lartas (larangan terbatas) telah bergeser ke post border," imÂbuhnya.
Padahal, saat ini produksi nasional industri besi dan baja turunan sedang berjalan baik dan tengah berencana untuk meningkatkan investasi dan kapasitas pada tahun ini. Utilitasinya seÂtiap tahun naik terus. Jika pada 2015 utilisasi hanya 45 persen, maka pada 2016 naik menjadi 55 persen. Sedangkan, pada 2017 naik menjadi 80 persen.
"Nilai penjualan kami mencaÂpai Rp 3,2 triliun per tahun dan kami juga menargetkan tambah investasi sebesar Rp 300 miliar tahun ini," tukasnya.
Wakil Ketua Asosiasi Besi dan Baja Indonesia (IISIA) Ismail Mandry mengatakan pelaku usaha tentu berharap bisnis mereka dapat tumbuh lebih baik pada tahun ini. Namun, penerÂbitan Permendag 22 menjadi ancaman bagi produsen. Sebab, kebijakan itu dikhawatirkan akan membuat baja impor banjiri pasar domestik.
"Dalam Permendag yang lama importir harus punya pertimÂbangan teknis dari Kemenperin, sedangkan di Permendag baru, aturan itu enggak ada. Apakah orang Kemendag paham betul soal industri," katanya.
Sebelum aturan baru tersebut terbit, pasar baja domestik sudah diganggu oleh produk impor. Sebagai gambaran, pada 2016 kebutuhan produk baja wire rod sebesar 1,67 juta ton.
Dari jumlah tersebut, proÂdusen dalam negeri memasok 806.000 ton dan sisanya, sebesar 865.084 ton, diisi oleh produk impor. Padahal, kapasitas terÂpasang pabrikan wire rod dalam negeri mencapai 2,8 juta ton per tahun yang diproduksi oleh lima pabrikan.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Yusman menjelasÂkan, kebijakan baru Mendag tersebut blunder dan perlu ditÂinjau ulang. Kebijakan tersebut tidak mencerminkan keberpiÂhakan terhadap industri dalam negeri. Padahal, pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sedang fokus pada peningkatan produktivitas dan daya saing industri nasional.
Bahkan, melalui kebijakan hilirisasi industri mampu memÂbawa efek yang luas berupa peningkatan nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, dan penÂerimaan devisa dari ekspor. Apalagi, Indonesia tengah meÂnargetkan produksi 10 juta ton baja pada tahun 2025.
Untuk diketahui, pada Pasal 4 Permendag No 22 Tahun 2018 disebutkan untuk memperoleh persetujuan impor perusahaan harus mengajukan permohonan secara elektronik kepada DirekÂtur Jenderal, dengan melampirÂkan dokumen Angka Pengenal Importir Umum (API-U) atau API Produsen, kontrak penÂjualan atau bukti pemesanan bagi perusahaan pemilik API-U dan mill certificate untuk impor baja paduan.
Sementara itu, pada PerÂmendag 82 Tahun 2016, selain persyaratan tersebut, pertimÂbangan teknis dari Kemenperin atau pejabat yang ditunjuk juga menjadi syarat. ***
BERITA TERKAIT: