"Tapi sampai tadi malam, saat saya ikut menjadi salah satu narasumber dalam acara dialog di salah satu TV swasta, perwakilan pengemudi taksi online-nya masih menolak PM 108/2017," kata analis kebijakan transportasi dan advokat publik dari Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Azas Tigor Nainggolan kepada redaksi, sesaat lalu.
Perwakilan pengemudi taksi online mengatakan bahwa pemerintah hanya menekan pengemudi taksi online. Sementara tidak dengan perusahaannya.
Penolakan para pengemudi taksi online juga disebabkan masih banyak ketentuan dalam PM 108/2017 yang dirasa memberatkan dan tidak sesuai kebutuhan pelayanan sebagai angkutan umum berbasis aplikasi atau online. Mereka juga menolak karena ketentuan-ketentuan dalam PM 108/2017 yang berasal dari 14 ketentuan PM 26/2017 sudah dibatalkan oleh putusan uji materil dari Mahkamah Agung.
"Jika sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung berarti ketentuan ini bertentangan UU yang lebih tinggi dan seharusnya ditiadakan, tidak diatur lagi atau tidak digunakan lagi,' kritik Azas.
Ia pun sependapat selama ini pemerintah melalui regulasi yang dibuat terkesan hanya memaksa dan menekan pengemudi taksi online. Alasan pemerintah untuk melindungi kepentingan pengusaha taksi konvensional yang sudah ada sebelumnya.
"Terlihat jelas bahwa pihak pemerintah dan pengusaha taksi konvensional hanya berani menekan kepada orang kecil, pengemudi taksi online. Pemerintah dan pengusaha taksi konvensional tidak berani berhadapan dengan pengusaha aplikasi atau aplikator," tegas Azas.
Padahal, terang Azas, selama ini yang mengoperasikan, memberi izin beroperasinya taksi online dan menentukan tarif taksi online adalah para aplikator. Tindakan ini dinilainya jelas melanggar UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta melanggar PM 108/2017.
"Tetapi kok pemerintah terus mau digunakan pengusaha taksi online menekan pengemudi taksi online? Mengapa pengusaha taksi konvensional tidak berani menyuruh pemerintah agar bekerja baik menindak si pelanggar hukum, dalam hal para aplikator?" tanyanya.
Faktanya, beber Azas, para aplikator hingga hari ini bertindak seolah menjadi pemerintah dengan mengeluarkan izin operasional kepada para pengemudi taksi online. Sementara mereka pula yang terus mengeluarkan izin taksi online tanpa pengendalian hingga jumlahnya melebihi kebutuhan. Bahkan para aplikator bisa leluasa menentukan tarif taksi online dengan segala ketentuan "setoran" komisi serta "memecat" pengemudinya.
Ada aplikator yang juga bertindak sebagai pedagang mobil dan perusahaan leasing kepada para pengemudi yang mendaftar agar diberi izin beroperasi.
"Semua pelanggaran para aplikator tersebut dilakukan secara terang-terangan, sangat jelas dan terbuka juga terang benderang," tegasnya.
Ia berharap pemerintah berani menegur dan menindak para aplikator taksi online yang melanggar hukum, UU 22/2009 dan PM 108/2017. Di samping itu juga para pengusaha taksi konvensional harus berani menekan pemerintah agar bekerja secara baik menindak para aplikator taksi online yang melanggar hukum tersebut.
"Hai pemerintah bekerjalah secara baik, jangan hanya menjadi alat kepentingan sekelompok orang tertentu saja. Mari pemerintah, bekerjalah secara baik dengan menegakan hukum secara adil termasuk menegakan aturan secara konsisten kepada para aplikator taksi online yang selama ini telah jelas-jelas melanggar UU nomor 22 tahun dan PM 108/2017," tukasnya.
[wid]
BERITA TERKAIT: