Bisnis Minyak Masih Licin

Setoran Sektor Migas Ke Negara Tembus Rp 175 T

Sabtu, 06 Januari 2018, 09:40 WIB
Bisnis Minyak Masih Licin
Foto/Net
rmol news logo Penerimaan negara dari sektor hulu migas 2017 mencapai 13,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 175 triliun. Angka ini melebihi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2017 yang sebesar 12,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 163 triliun. Bisnis migas masih licin.

"Capaiannya sekitar 108 persen dari target pemerin­tah," kata Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Su­naryadi saat memaparkan capa­ian kinerja hulu migas 2017, di Jakarta, kemarin.

Untuk lifting minyak dan gas bumi, kata Amien, capaiannya sebesar 1,944 juta barel ekuiva­len minyak per hari (BOEPD) atau sekitar 98,9 persen dari tar­get APBN-P yang sebesar 1,965 juta BOEPD. Rinciannya, lifting minyak bumi sebesar 803,8 ribu barel per hari (BOPD) atau 98,6 persen dari target sebesar 815 ribu BOPD.

Sementara untuk realisasi lifting gas bumi sebesar 6.386 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau 99,2 persen dari target yang sebesar 6.440 MMSCFD. "Kami berusaha seoptimal mungkin untuk mene­kan penurunan produksi alamiah dengan percepatan penyelesaian proyek dan mendorong kegiatan yang menjaga tingkat produksi," katanya.

Menurut Amien, pada tahun lalu terdapat 14 proyek yang mu­lai berproduksi dengan tambahan sebesar 3.800 BOPD dan 587 MMSFD hingga 31 Desember 2017. Puncak produksi dari ke-14 proyek tersebut mencapai 21.280 BOPD dan 1.194 MMSCFD.

Berdasarkan data SKK Mi­gas ada 10 perusahaan yang menjadi penyumbang lifting minyak bumi terbesar. Mereka adalah Chevron Pacivic Indo­nesia 224,3 ribu BOPD, Mobil Cepu LTD 204,2 ribu BOPD, Pertamina EP 77,5 ribu BOPD, Total E&P Indonesie 52 ribu BOPD, dan PHE ONWJ 32,2 ribu BOPD. Kemudian ada CNOOC SES 31,5 ribu BPOD, Medco Natuna 17,9 ribu BPOD, Chevron Indonesia Company 17,8 ribu BPOD, Petronas Cari­gali Ketapang 16,8 ribu BPOD, dan Vico 14 ribu BPOD.

Sedangkan 10 perusahaan penyumbang terbesar lifting gas bumi adalah Total E&P Indonesie 1.255 MMSCFD, BP Tangguh 908 MMSCFD, Per­tamina EP 810 MMSFD, Cono­co Phillips 814 MMSFD, JOBP-Medco Tomori 304 MMSCFD, Kangean Energy Indonesia 197 MMSCFD, Premier Oil 224 MMSCFD, Eni Muara Bakau 219 MMSCFD, Medco Natuna 198 MMSCFD, dan Petrochina Jabung 201 MMSCF.

Amien menambahkan, real­isasi investasi 2017 sebesar 9,33 miliar dolar AS atau sebesar Rp 125 triliun. Jumlah tersebut di bawah target dalam work program and budget (WP&B) yang sebesar 12,29 miliar dolar AS atau sekitar Rp 164,9 triliun. Dari jumlah tersebut, investasi untuk blok eksplorasi hanya sebesar 180 juta dolar AS atau Rp 2,4 triliun dan untuk blok ek­splotasi sebesar 9,15 miliar dolar AS atau Rp 122,7 triliun.

Sementara itu, pengembalian biaya operasi (cost recovery) sebesar 11,3 miliar dolar AS atau Rp 151,6 triliun atau 106 persen dari target APBN-P 2017 sebesar 10,7 miliar dolar AS atau Rp 143,5 triliun. "Alokasi biaya terbesar cost recovery untuk mendukung aktivitas operasi sebesar 47 persen dan depresiasi sebesar 29 persen," ujarnya.

Efek Harga Minyak


Wakil Kepala SKK Migas Sukandar mengatakan, lesunya investasi sepanjang 2017 dikar­enakan tren negatif harga minyak. Dengan begitu, rencana alokasi perusahaan (capex) harus disiap­kan sebelum menetapkan investa­sinya. "Jadi saat sepanjang harga minyak murah, maka sudah pasti capex-nya turun," katanya.

Sukandar menjelaskan, saat harga minyak turun, biaya sewa peralatan pengeboran (rig) ikut turun separuh harga. Sehingga dana yang dikeluarkan perusa­haan saat harga minyak rendah untuk ngebor 1 sumur sudah pasti jauh lebih murah dibanding ngebor saat harga minyak lagi 100 dolar AS per barel.

Meski begitu, dia berharap, in­vestasi hulu migas ke depannya bisa lebih baik. Di mana harga minyak seperti Brent sudah men­capai 68 dolar AS per barel dan West Texas Intermediate (WTI) di level 60 dolar AS per barel. Hal tersebut merupakan momen­tum baik bagi investor kembali menggelontorkan dananya, dan meningkatkan investasinya di sektor hulu migas.

"Hari ini harga minyak sudah 59 koma dolar AS. Jadi, kalau misalnya 60 dolar, itu seharus­nya sudah ada tingkat pengem­balian tinggi untuk investor," kata Sukandar.

Dia mengakui, saat ini harga minyak dunia cenderung fluk­tuatif. Namun, apabila harga minyak melambung tinggi, men­capai 100 dolar AS per barel, maka tingkat pengembalian in­vestasi (Internal Rate of Return/IRR) hulu migas akan mencapai persentase double digit, bahkan menyentuh 30 persen. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA