"Kami melihat, kalau hamÂbatan itu dikurangi, kinerja indusri tekstil dan alas kaki juga akan ikut naik," kata Airlangga, di Jakarta, kemarin.
Hambatan tarif, lanjut Airlangga, masih terjadi karena sejumlah perjanjian kerja sama ekonomi belum rampung disepakati. Antara lain kesepakatan dengan Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Proses negosiasi kesepakatan bilateral dengan mereka belum selesai.
Airlangga memberikan contoh nyata dampak belum selesainya negosiasi terhadap produk tekstil Indonesia di Amerika.
Menurutnya, ekspor produk tekstil Indonesia ke Amerika masih dikenai bea masuk 5 sampai 20 persen. Sedangkan ekspor Vietnam ke Amerika dan Eropa sudah 0 persen.
Namun demikian, Airlangga menegaskan, untuk jangka panjang, pihaknya akan terÂus mendorong industri dalam negeri untuk berinovasi sehingga mampu bersaing di kancah global.
Untuk jangka menengah, lanÂjut Airlangga, Kementerian PerÂindustrian sedang menyiapkan SDMindustri yang kompeten melalui program pendidikan yang link and match antara Sekolah Menengah Kejuruan dan industri.
Ekonom
Institute for DeÂvelopment of Economics and Finance (Indef), Rina Oktaviani mengakui, produk industri Indonesia kerap menghadapi kendala.
Contoh paling mudah adalah komoditas minyak sawit IndoÂnesia dipersulit masuk dan berÂsaing melalui aturan yang ketat. Selain itu, di beberapa negara ada upaya-upaya kampanye negatif.
"Untungnya efek kampanye negatif terhadap produksi palm oil Indonesia sejauh ini tidak terlihat. Tapi, harapannya InÂdonesia dan Uni Eropa tetap bisa memperkuat kerja sama," katanya.
Meskipun tersendat sejumlah aturan, Rina menyarankan para pebisnis harus tetap menyesuaian dengan aturan yang ada.
Berdasarkan studi Indef, menurutnya, kenaikan 1 persen impor dari Uni Eropa akan meningkatkan investasi dana asing Uni Eropa sebesar 2,43 persen pada tahun berikutnya. Begitu pula kenaikan 1 juta euro investasi langsung dana asing dari Uni Eropa akan meningÂkatkan impor Indonesia sebesar 2,14 juta dolar AS di tahun beriÂkutnya. ***
BERITA TERKAIT: