Anggota Komisi VI DPR, Adang Daradjatun menjelaskan, beberapa perusahaan BUMN yang selama ini mendapat pengawasan langsung dari DPR, dimasukkan menjadi anak perusahaan holding. Sementara dalam UU BUMN dinyatakan bahwa anak perusahaan bukan lagi perusahaan negara.
"Dampak dari hodingisasi, anak perusahaan BUMN, yang awalnya adalah BUMN yang dijadikan anak perusahaan BUMN holding, tidak memiliki kewajiban pertanggungjawaban kepada negara (DPR)," kata Adang di Jakarta, Jumat (8/12).
Lalu yang juga menjadi kejanggalan, menurut Adang, sejak awal Menteri Rini terkesan tidak mau ada gangguan dari DPR. Dia ingin memastikan bahwa rencana holding berjalan lancar, Makanya dengan PP 72 yang ia susun tersebut menegaskan bahwa proses holding tidak butuh persetujuan lembaga legislatif.
Padahal berdasarkan UU BUMN, setiap penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara mesti dibahas melalui APBN.
"Penyertaan modal tanpa melalui pembahasan di APBN akan memberi keleluasaan kepada pemerintah untuk memindahkan saham BUMN tanpa persetujuan DPR," ujar dia.
Staf Ahli Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin yang saat ini diangkat menjadi Direktur Utama (Dirut) holding tambang menjelaskan bahwa tujuan holding untuk memperkuat modal usaha. Dia juga mengklaim bahwa DPR tetap bisa melakukan pengawasan seperti biasanya.
"Hoding ini untuk memperkuat perusahaan, tidak ada maksud menjual, bahkan holding ini untuk membeli," kata dia.
[wid]
BERITA TERKAIT: