Rentenir Global
Situasi internasional ditandai dengan peningkatan utang global, baik utang Negara maupun utang perusahaan. Peningkatan terbesar terjadi dalam sector properti dan infrastruktur sebagai konsekuensi atas krisis over produksi dalam oil, gas, ekstraktif dan industry manufaktur. Pergeseran arah pembangunan global pada infrastruktur dan properti menciptakan gelembung ekonomi yang tidak terkendali.
Utang global yang terbentuk sampai dengan saat ini mencapai 226 triliun dolar, atau mencapai rata rata 324 % dari Gross Domestic Produk (GDP) yang saat ini hanya sebesar 60 triliun dolar AS (Institute of International Finance (IIF). Global debt telah meningkat 26 triliun dolar dalam dua tahun. Sebuah peningkatan yang sangat cepat.
China merupakan salah satu negara yang mengakumulasi utang property yang sangat besar. Secara keseluruhan utang publik china mencapai 28,2 triliun dolar, menyerap separuh hutang global antara 2008 sampai 2014. Tahun 2016 utang publik China telah meningkat menjadi 31,7 triliun dolar (Mckinsey). Dalam dua setengah tahun terakhir Cina menyumbang $ 2 triliun kenaikan, dengan hutangnya sekarang sekitar $ 35 triliun (IIF, 2017). Utang perusahaan di China melonjak $ 660 miliar di sana tahun lalu - telah jauh lebih cepat dan lebih curam daripada di Amerika Serikat menjelang krisis keuangan 2008 atau di Jepang menjelang krisis perbankan tahun 1991.
Utang perusahaan property global sendiri saat telah mencapai tingkat ekstrim, jauh melebihi gelembung krisis keuangan pra-Lehman (Institute of International Finance di Washington, 2015). Utang perusahaan property disebutkan mencapai $ 25 triliun dolar, separuh dari utang global yang terbentuk.
Ditengah krisis sector property ini muncul agenda baru yakni pembangunan infrastruktur. Alasanya dunia mengalami kelangkaan infrastruktur yang parah. McKinsey dalam studi di bulan Juni 2016 memperkirakan sekitar 3,3 trilliun dolar AS atau sekitar Rp 44.550 triliun yang diperlukan dalam investasi infrastruktur hingga 2030 untuk mendorong pertumbuhan global. Target tersebut menegaskan bahwa global infrstruktur akan menjadi prioritas ekspansi rezim keuangan global ke seluruh dunia termasuk Indonesia.
Jadi fakta di atas menegaskan bahwa program Pemerintahan Jokowi yang menjadikan sector infrastruktur sebagai prioritas pemerintahannya,sama sekali bukan ide brilian dari Jokowi dan kabinetnya. Sama sekali bukan, karena pembangunan mega proyek raksasa infrastruktur adalah ide rezim keuangan global dalam rangka menciptakan pasar utang.
Kebijakan pemerintahan Jokowi yang menjadikan Indonesia sebagai pasar bagi utang, barang modal, jasa jasa global dalam berbagai mega proyek infrastruktur yang bernilai ribuan triliun, telah membawa konsekuensi memburuknya situasi ekonomi Indonesia. Keadaan ini diperparah oleh kebijakan fiscal pemerintah dalam APBN selama tiga tahun terakhir yang mengalokasikan APBN untuk mega proyek dengan mengorbankan kesejahteraan publik.
Ekonomi Loyo
Pertumbuhan ekonomi nasional yang rendah dan cendrung stagnan. Sejak pemerintahan Jokowi berkuasa pertumbuhan ekonomi langsung menurun menjadi 4,9 persen (2015) dari rata rata diatas 6 persen pada periode sebelumnya. Pertumbuhan eknomi Indonesia terus mengalami stagnasi. Pada tahun 2016 ekonomi hanya tumbuh 5,02 persen dan kwartal ketiga tahun 2017 hanya tumbuh 5,06 persen dibandingkan kwartal yang sama tahun sebelumnya.
Demikian pula dengan ekspor Indonesia semakin menurun secara konsisten dari tahun ke tahun. Ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas primer menyebabkan nilai ekspor kian merosot. Pada tahun 2014 nilai ekspor Indonesia sebesar 173,75 miliar dolar, hanya tersisa sebesar 164,89 miliar dolar pada tahun 2017.
Pelemahan ekonomi yang paling mendasar adalah tercermin dari kondisi Industry nasional merosot. Salah satu inikatornya adalah impor yang menurun. Nilai impor Indonesia pada tahun 2014 adalah 168,285 miliar dolar, menurun menjadi -128,215 miliar dolar dan diperkirakan hanya akan tersisa -144,683 miliar dolar pada tahun 2017. Sebagian besar impor Indonesia adalah impor bahan baku. Penurunan impor berarti indikasi melemahnya industry dalam negeri.
Sementara dominasi modal asing dalam ekonomi Indonesia telah mengakibatkan semakin defisit transaksi berjalan yang terus berlanjut. Tahun 2015 defisit transaksi berjalan adalah sebesar 17,518 miliar dolar, menjadi 16,790 miliar dolar pada tahun 2016 dan diperkirakan akan mencapai 15,840 miliar dolar ((sumber data neraca bank Indonesia). Jangan terkecoh dengan penurunan defisit dalam yang dalam USD dikarenakan nilai yang harus kita bayarkan dalam rupiah akan semakin besar.
Lebih parah lagi adalah defisit pendapatan primer yang membengkak. Tahun 2015 defisit pendapatan primer sebesar 28,379 miliar USD, meningkat menjadi 29,655 miliar USD pada tahun 2016 dan diperkirakan pada tahun 2017 akan membengkak menjadi 33,208 miliar USD. Besarnya defisit transaksi berjalan menunjukkan capital outflow yang sangat besar dari Indonesia untuk pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri, dan keuantungan investasi asing yang dibawa ke luar negeri.
Defisit yang berkepanjangan dalam neraca internasional Indonesia mendorong pemerintah untuk terus menumpuk utang baru. Akibatnya utang luar negeri pemerintah dan swasta terus mengalami peningkatan. Peningkatan yang sangat besar adalah terjadi dalam utang luar negeri pemerintah yang tumbuh antara 9-10 % atau dua sampai tiga kali lipat meningkat lebih besar dibandingkan sebelumnya.
Kondisi APBN Cekak
Deficit APBN 2015 membengkak menjadi 2,8% dari yang direncakan sebesar 1,9%. Defisit APBN 2017 meningkat menjadi 2,5 % dari 2,35% dari yang direncanakan. Tahun 217 juga demikian deficit APBN membengkak menjadi 2,92% dari yang direncakan sebesar 2.41%. Tahun 2017 sesuai angka defisit 2,92% untuk mendapatkan tambahan utang Rp. 471 triliun.
Meningkatnya defisit dikarenakan Target penerimaan perpajakan tidak tercapai. Realisasi penerimaan perpajakan yang rendah, menunjukkan perencanaan buruk, tidak realistis, sangat ambisius, dan kualitas fiscal yang sangat buruk. Kondisi ini menceminkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang kurang baik dan cenderung korup.
Padahal pemerintah sejak tahun 2015 lalu telah memberlakukan program tax amnesty, namun proyek ini tidak membuahkan hasil apapun. Bahkan kuat indikasi bahwa proyek pemerintah ini dijadikan sebagai ajang korupsi, cuci uang hasil kejahatan ekonomi baik di dalam maupun di luar negeri.
Sisi lain Utang pemerintah dalam bentuk SUN semakin meningkat pesat. Utang pemerintah yang bersumber dari surat berharga Negara mengalami peningkatan cukup fantastis sejak pemerintahan Jokowi – JK dimulai tahun 2014. Jika utang pemerintah dari luar negeri digabungkan dengan utang pemerintah dari dalam negeri maka saat ini nilainya mencapai Rp, 4.091 triliun lebih. Selama tiga tahun pemerintahan Jokowi JK meningkat senilai +/- Rp. 1.238 triliun. Penimbunan utang semacam ini adalah pencapaian tertinggi dibandingkan pemerintahan manapun yang pernah berkuasa di Republik Indonesia.
Kondisi ini lebih jauh berimplikasi pada peningkatan beban bunga dan utang jatuh tempo. Setiap tahun saat ini rata rata pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp. 253.5 triliun, Cicilan sebesar Rp. 65,5 Triliun (diambil dari data cicilan 2017), Utang jatuh tempo sebesar Rp.390 Triliun. Jadi total kewajiban yang harus dibayar pemerintah dapat mencapai Rp. 709 triliun setiap tahun. Sebagaimana diketahui bahwa penguasaan asing atas obligasi obligasi Indonesia naik ke rekor hampir 41 persen bulan September lalu (Bloomberg).
Kondisi Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim ekonomi global, seperti penurunan ekonomi China, perubahan kebijakan pajak dan suku bunga di Amerika Serikat yang sangat mempengaruhi perubahan nilai tukar rupiah terhadap USD. Kejatuhan nilai tukar rupiah terhadap USD secara terus menerus dapat berimplikasi pemerintah gagal bayar utang.
BUMN Tersandera Debt Collector
Kondisi Utang BUMN infrastruktur belakangan ini smeakin memburuk. Hingga Bulan July 2017, total utang dari empat BUMN infrastruktur meningkat sebesar Rp. 42,9 triliun atau meningkat 134% debandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yakni meningkat 18,3 triliun. Secara keseluruhan total utang empat BUMN yakni PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Waskita Karya (Persero) Tbk., PT Adhi Karya (Persero) Tbk., and PT PP (Persero) Tbk., diperkirakan akan meningkat Rp 100.7 trillion pada tahun 2019 dengan melihat trend peningkatan saat ini dan besarnya kebutuhan pendanaan infrastruktur.
Pada sisi lain kemapuan keuangan empat perusahaan BUMN tersebut kian sempit. Sumber keuangan yang ada hanya cukup untuk membayar bunga utang. saat ini debt to equity ratio (DER) empat perusahaan tersebut sudah beradatingkat yang membahayakan. Nilai DER pada tahun 2015 ketika Jokowi mulai berkuasa telah mencapai 108%. Sekarang ini DER empat BUMN kontraktor pemerintah ini mencapai 134% dapa 2015 dan diperkirakan 165% paa tahun 2019 mendatang.
Utang tersebut masih didominasi oleh pinjaman jangka pendek dari perbankan, terhitung sebesar 57 persen saat ini, naik dari 39 persen pada periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara Asian Development Bank (ADB) malah menyaraknan Indonesia perlu mengatasi kekurangan infrastruktur dengan menginvestasikan sebanyak $ 1,2 triliun pada tahun 2030 sebagai cara untuk dapat mempertahankan pertumbuhan.
BUMN sector energy menghadapi masalah yang relative sama. Misalnya utang Perusahaan Gas Negara sudah sangat besar yakni mencapai US$2,852 miliar atau Rp. 38,511 triliun. Nilai ini setara dengan Debt to equity 0.87% (PGN Equity US$ 3,279 miliar), dengan bunga utang 4.57 %. (Laporan PGN Maret 2017). Sementara pengusaan swasta atas PGN telah mencapai 43% dari asset perusahaan senilai US$ 6,986 miliar. utang pertamina sekarang sangat besar, nilainya mencapai US$ 8 miliar atau sekitar 104 triliun.
Selanjutnya utang PLN sekitar 22 miliar US dolar atau sekitar Rp, 300 triliun kepada lembaga keuangan global dan lokal, belum termasuk liability lainnya seperti utang energy primer. Ini disampaikan dalam keterangan pers beberapa bulan lalu. Sementara Utang PLN terus mengalami peningkatan sepanjang 2017 sebagai sumber dana untuk mengejar target pemerintah membangun 35 ribu megawatt yang dapat dipastikan akan membebani keuangan PLN dan akhirnya akan membebani rakyat lewat kenaikan tarif.
KesimpulanAgenda pembangunan nasional saat ini termasuk di dalamnya rancangan APBN, defisit APBN, rrencana utang pemerintah dan utang BUMN, rencana pembangunan infrstruktur, serta rencana penjualan sebagian atau keseluruhan BUMN, sama sekali bukan merupakan agenda yang lahir dari pemikiran pemerintahan Jokowi dan aparaturnya, Namun rencana rezim keuangan global dalam rangka menjarah kekayaan ekonomi nasional.
Sementara oligarki pemerintahan Jokowi memperoleh peluang sangat besar menggunakan kesempatan tersebut dalam rangka memburu sumber keuangan dalam memperkaya pribadi, keluarga dan kelompoknya serta mempersiapkan sumber uang untuk memenangkan Pemilu 2019 mendatang.
Pembangunan mega proyek infrastruktur pasti akan disertai dengan mega korupsi yang besar. Namun hal ini dapat dipastikan tidak dapat diusut, karena terlindung dibalik dinding kuasa kegelapan. Buktinya sampai saat ini tidak ada sama sekali korupsi dalam mega proyek infrastruktur. Bahkan KPK pun tak ahli soal korupsi di sektor paling sedap ini.
[***]
BERITA TERKAIT: