Seperti diketahui, saat ini OtoÂritas Jasa Keuangan (OJK) masih menunggu kepastian dari KemenÂterian Keuangan (Kemenkeu) terkait apakah lembaganya yang menjadi objek pajak atau tidak. Sebelumnya, OJK telah melunasi segala kewajiban pajaknya yang mencapai Rp 1,3 triliun selama 2014 kepada Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu).
Plt Deputi Komisioner ManajeÂmen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo membenarkan, saat ini, pihaknya memang masih menunggu keputusan Kemenkeu, sekaligus telah berdiskusi dengan pemerintah terkait dengan perpaÂjakan lembaganya tersebut.
"Di OJK kan juga ada AngÂgota Dewan Komisioner
Ex-offiÂcio dari Kementerian Keuangan yaitu Pak Mardiasmo, kami juga konsultasikan soal itu (subÂjek pajak). Nanti kalau sudah ditetapkan sebagai objek pajak, maka OJK akan menghitung kewajibannya sejak pertama kali berdiri (2013)," ucap Anto saat ditemui usai menghadiri kegiaÂtan Seminar Nasional Kearsipan di Jakarta, kemarin.
Bahkan kata Anto, OJK telah meminta kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar melihat kembali jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh OJK dan memberikan keringanan.
Anto menjelaskan, OJK sebeÂnarnya masih punya kewajiban utang pajak sebagai lembaga terlepas dari apakah OJK menjadi objek pajak atau tidak harus bayar pajak. Apalagi, komponen perhiÂtungannya belum dipastikan.
"Yang pasti, OJK akan terÂus melakukan efisiensi untuk mengumpulkan dana guna memÂbayar utang pajaknya tersebut," kata Anto.
Sejak dipimpin oleh WimÂboh, OJK memamg berkomitÂmen terus melakukan efisiensi. Penghematan dana tersebut, bisa digunakan untuk kebutuhan OJK yang lebih prioritas, seperti dalam hal pengawasan lembaga jasa keuangan dan perlindungan konsumen. Selain itu, terdapat kebutuhan akan sarana penunÂjang maupun bayar pajak.
Efisiensi dana juga dilakukan, agar OJK bisa membangun gedung baru. Karena selama ini gedung tempat berkantor para Anggota Dewan Komisioner maupun karyawan terpisah-piÂsah seperti di Gedung Soemitro, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat maupun Gedung Radius Prawiro di Komplek BI.
"Hingga kini, OJK bekerja melalui pinjaman gedung dari Bank Indonesia (BI) dan KemenÂterian Keuangan. Tapi dengan gedung yang terpisah ini, maka, agak sulit bagi OJK untuk memÂbangun suatu kultur," terangnya.
Anto membeberkan, upaya efisiensi yang telah dilakukan OJK mulai dari level eksekutif hingga seluruh pegawai, termasuk level direktur ke atas agar menggunakan pesawat kelas ekonomi apabila melakukan perjalanan kurang dari dua jam. Hal ini dinilai menjadi salah satu cara ampuh menghemat anggaran yang di keluarkan.
Menurut Anto, Dewan KomiÂsioner OJK Periode 2017-2022 sebenarnya telah melakukan efisiensi penggunaan anggaran dengan estimasi mencapai Rp 400 miliar pada tahun ini, agar bisa membeli gedung baru.
"Sampai sekarang kami tidak punya gedung. Kalau mau bangun, itu artinya kami harus punya dana yang dialokasikan untuk gedung. Makanya heÂmat. Syukur Alhamdulillah dari efisiensi tahun ini, kami berharap bisa bangun gedung di daerah dulu sementara," ujar Anto.
Saat ditanya apakah kemungÂkinan akan menaikkan iuran mengingat kebutuhan gedung baru, Anto mengaku belum perlu mengambil opsi menaikkan iuran kepada industri perbankan yang perlu disetor ke OJK.
"Begini, iuran itu merupakan kewajiban yang ada dalam UnÂdang-Undang, maka kenaikan dan besaran iuran itu tergantung aturannya. Tentu kami tidak melakukan jalam pintas (
shortÂcut) biar OJK punya gedung, itu ada aturannya," tutur Anto.
Ketua Dewan Komisioner OJK terpilih periode tahun 2017-2022 Wimboh Santoso mengaku, lembaga yang akan dipimpinnya itu belum efisien.
"Dari informasi yang ada, anggaran perlu lebih efisien. Kami akan lihat mana yang prioritas," ujar Wimboh.
Ketua Tim Peneliti LemÂbaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEUI Eugenia Mardanugraha menilai, lembaga pengawas keuangan seperti OJK, sebenarnya tidakÂlah diwajibkan dipungut atau diÂjadikan subjek pajak. Pasalnya, iuran yang dipungut OJk dari lembaga keuangan posisinya sejajar dengan setoran pajak.
"Sebagaimana Peraturan PeÂmerintah (PP) Nomor 11 tahun 2014 tentang Pungutan Oleh OJK, kan memang disebutkan, dalam hal pungutan yang diterima OJK pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun angÂgaran berikutnya, kelebihan terseÂbut disetorkan ke Kas Negara. Apalagi OJK ini kan bukan peÂrusahaan atau badan usaha yang harus pakai modal," ucapnya saat dihubungi
Rakyat Merdeka. Ia menilai, saat ini memang Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Kemenkeu tengah getol menambah penerimaan negara, sehingga mencari-cari sumber pendanaan dan wajib pajak bagi negara.
"Kalau cari alternatif sumber penerimaan negara saya setuju. Tapi jangan dipaksakan juga. Semua harus ada aturannya. Karena bagaimanapun peneriÂmaan negara penting bagi pemÂbangunan negeri," ujarnya.
Dorong Lembaga Keuangan Efisiensi Arsip Digital Dalam menerapkan upaya efisiensi, OJK juga mendorong pengelolaan arsip secara digital untuk menciptakan efesiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Pasalnya selama ini pengelolaan arsip nasional masih dilakukan secara manual atau menggunaÂkan model konvensional.
Plt Deputi Komisioner ManaÂjemen Strategis dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, digiÂtalisasi kearsipan memberikan kemudahan bagi masyarakat yang ingin mendapatkan inforÂmasi mengenai arsip-arsip langÂsung melalui jaringan (online).
"Ini merupakan salah satu upaya bentuk untuk mendeteksi atau mencegah terjadinya koÂrupsi dengan pengarsipan yang baik maka semua dapat tertata dengan baik, semua akhirnya diÂlakukan kerja itu penting untuk jasa keuangan," katanya.
Anto mengatakan, saat ini, tingÂkat kepatuhan perusahaan untuk melakukan arsip digital masih keÂcil lantaran belum ada ketentuan yang mewajibkan penggunaan arsip digital. Hingga kini baru ada aturan mengenai tata kelola kearsipan secara konvensional.
"Baru mulai jadi beberapa perusahaan sedang mengarah ke digital jadi kita memang belum mengeluarkan suatu ketentuan yang mewajibkan tapi dengan adanya program gerakan nasional sadar tertib arsip kemudian menjadi bagian komitemen OJK menata arsip," tutur dia. ***
BERITA TERKAIT: