Kebijakan Ekonomi Harus Mampu Baca Kebutuhan Rakyat

 LAPORAN: <a href='https://rmol.id/about/'></a>
LAPORAN:
  • Jumat, 24 November 2017, 21:32 WIB
Kebijakan Ekonomi Harus Mampu Baca Kebutuhan Rakyat
Net
rmol news logo Musyawarah Nasional Asosiasi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (AFEB) Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) yang digelar di Surabaya 22-23 November menghasilkan beberapa rekomendasi penting.

Ketua AFEB PTM Mukhaer Pakkanna menjelaskan, setidaknya ada tiga rekomendasi dari seminar yang mengangkat tema Membangun Kekuatan Ekonomi Umat Berbasis Riset tersebut. Pertama, meningkatnya gairah penguatan ekonomi umat yang ditandai meningkatnya lembaga keuangan syariah, produk-produk syariah, bergeraknya sektor riil dengan keberadaan retail dan swalayan syariah.

"Peningkatan ini belumlah memuaskan jika dibanding besaran populasi umat Islam di Tanah Air. Apalagi jika dibanding Malaysia atau negara-negara lain yang tidak berpopulasi mayoritas umat Islam," katanya kepada wartawan, Jumat (24/11).

Oleh karena itu, AFEB PTM mengusulkan agar pergerakan gairah itu tidak sekadar semangat sesaat tapi terlembaga hingga pelosok desa dan menyentuh aspek kebutuhan riil rakyat. Instrumen wakaf, zakat, infaq, sodakoh dan lainnya menjadi instrumen penting dalam meredistribusi aset demi tegaknya keadilan sosial.

"Masjid dan mushola serta para mubaligh harus menjadi garda terdepan dan memiliki kapasitas menyosialisasikan instrumen-instrumen tersebut," jelas Mukhaer yang juga ketua STIE Ahmad Dahlan, Jakarta.

Kedua, memasuki 2018 yang dianggap sebagai tahun politik, AFEB PTM mengimbau agar konsentrasi penguatan kapasitas ekonomi rakyat jangan sampai terbengkalai. Program-program ekonomi tidak semata bersifat elitis dan mendongkrak pencitraan pemerintah.

Mukhaer mengatakan, saat ini sinyal makin parahnya tingkat kedalaman kemiskinan nasional yang naik menjadi 1,83 pada 2017 dari 1,74 tahun 2016. Dan tingkat keparahan kemiskinan menjadi 0,48 (2017) dari 0,44 (2016) menunjukkan bahwa program ekonomi pemerintah selama ini hanya mampu mendongkrak lapisan menengah atas yang makin meningkatkan akumulasi aset dan kekayaannya.

"Ini jika terlihat indeks gini rasio kesenjangan yang stagnan, yang artinya kesenjangan sulit diobati oleh pemerintah," bebernya.

Poin ketiga berkaitan dengan perdebatan tentang apakah daya beli masyarakat makin tergerus atau tidak. AFEB PTM memandang bahwa fenomena hebohnya daya beli dan shifting pola belanja masyarakat hanya merupakan fenomena wilayah perkotaan.

Daya beli masyarakat pada lapisan menengah perkotaan, justru masih bertahan kuat, kendati mengalami pergeseran pola belanja. Sementara, daya beli masyarakat pada lapisan masyarakat miskin di wilayah perdesaan/perkotaan tetap semakin parah. Itu artinya bahwa model pendekatan pembangunan dan perubahan teknologi informasi belum optimal mendongkrak kesejahteraan masyarakat miskin.

"Diperlukan inovasi disruptif yang familiar dengan masyarakat bawah," imbuh Mukhaer. [wah]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA