"Ini adalah bentuk kesalahan persepsi. Para
driver menganggap mereka karyawan PPN, padahal bukan," kata Direktur Center for Energy Policy Kholid Syerazi dalam keterangannya kepada redaksi, Kamis (26/10).
Menurut Kholid, tuntutan mantan AMT yang ingin diangkat sebagai karyawan tetap PPN dan menunjuk PPN sebagai pihak yang bertanggung jawab adalah bentuk kesalahpahaman. Pasalnya, tidak mungkin PPN melaksanakan semua pekerjaan teknis.
"Jadi, yang dilakukan memang mekanisme vendor. Driver adalah urusan vendor," lanjut Kholid.
Kholid menambahkan, mekanisme vendor yang dilakukan PPN dalam penyediaan AMT merupakan cara wajar. Hal itu bisa dipahami sebagai upaya memberi kesempatan pada perusahaan lain untuk berpartner dan berkembang bersama PPN.
Dalam kaitan itulah, menurut Kholid, jika Presiden Joko Widodo menindaklanjuti tuntutan mantan AMT, maka bisa mengarahkan kepada pemangku kepentingan, baik Kementerian Tenaga Kerja atau DPR. Untuk hal ini, ujar Kholid, baik Kemenaker maupun DPR harus memediasi antara mantan AMT dan vendor.
"Ini yang harus dikejar dan dimediasi Kementerian Ketenagakerjaan. Pemerintah harus memastikan bahwa vendor-vendor tersebut memberikan hak yang layak kepada driver, sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB," katanya.
Begitu pula dengan DPR. Menurut Kholid, DPR juga bisa memanggil vendor dan memediasi dengan mantan AMT. Dengan demikian, persoalan ini akan terbuka kepada publik, termasuk mengenai pertanggungjawaban yang seharusnya dilakukan vendor.
Aksi unjuk rasa yang dilakukan mantan AMT, pada akhirnya juga dilakukan di depan istana. Dalam unjuk rasa tersebut, mereka melakukan aksi teatrikal sambil menarik truk pengangkut BBM.
[wid]
BERITA TERKAIT: