Menteri Keuangan (MenÂkeu) Sri Mulyani mengakui, terjadi perlambatan daya beli masyarakat untuk kelas menengah. Namun demikian, ditegaskannya, konsumsi masyarakat masih tumbuh positif.
"Konsumsi masyarakat meÂnengah tahun ini tumbuh 5,7 persen. Jika dibandingkan tahun lalu lebih lambat, yang mencapai 8 persen. Tapi masih positif naik," kata Ani, pangÂgilan akrab Sri Mulyani, di Jakarta, kemarin.
Ani mengungkapkan, jika dilihat dari sisi penerimaan, pertumbuhan pajak dari PPN (Pajak Pertambahan Nilai) di kisaran 14 persen. Hal ini menggambarkan semua kegiatan ekonomi menunjukkan indikator positif. Apalagi, ada 4 juta penyerapan tenaga kerja pada kuartal kedua. Hal ini tentu memberikan pengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Presiden lihat semua inforÂmasi ini, dari statistik yang kami kaji secara teliti," terangnya.
Namun demikian, Ani mengatakan, untuk menjaga daya beli masyarakat, masih memerlukan kebijakan pemerintah seperti menjaga stabilitas harga koÂmoditas strategis.
Sekadar informasi, Presiden Jokowi membantah daya beli masyarakat menurun. Dia meÂnilai, isu penurunan daya beli dihembuskan untuk kepentingan politik 2019. Jokowi yakin, daya beli masyarakat bagus merujuk data pertumbuhan industri jasa kurir, peningkatan PPN, dan industri.
Ekonom
Institute for Development of Economics and FiÂnance (Indef) Bhima YudhisÂtira Adhinegara membantah bermuatan politis dalam mengkritisi soal penurunan daya beli masyarakat.
"Kami mengolah data dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) dan data pemerintah sejak 2014. Kalau data ini ditolak sama dengan mengabaikan fakta. Kita akui saja bersama (pelemahan daya beli). Kita gotong royong cari solusi, apa stimulus yang perlu diberikan untuk pelaku usaha dan masyarakat," ungkap Bhima.
Bhima menjelaskan, penuÂrunan daya beli terjadi pada kelompok masyarakat menengah ke bawah. Menurutnya, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, nilai tukar (tingkat kesejahteraan) petani turun 2,3 persen. KemuÂdian, upah buruh petani turun 4 persen. Hal ini mengindikasikan masyarakat menengah ke bawah, terutama di pedesaan, nggak punya uang sehingga menguÂrangi konsumsi.
Bhima mengatakan, untuk melihat daya beli, jangan hanya melihat konsumsi masyarakat perkotaan karena penurunannya tidak terlalu signifikan.
"Masalah di kelas menengah ke atas, mereka menunda belanja. Lebih memilih menyimpan uang di bank. Kenapa itu terjadi? Karena ekspektasi terÂhadap perekonomian kurang baik," cetusnya.
Selain penurunan pendapatan, Bhima mengatakan, indikasi penurunan daya beli juga terÂcermin dari kinerja sektor ritel. Penjualan ritel pada 2014 menÂcapai 20,6 persen, dan kini hanya tumbuh 5 persen.
Bhima tidak sependapat bila kinerja ritel rontok karena beÂlanja masyarakat beralih ke sistem online. Sebab, porsi ritel online terhadap ritel nasional hanya 0,7 persen.
"Ada ritel online yang meÂmang omzetnya naik 200 persen. Tetapi tidak mencerminkan kondisi ritel nasional secara keseluruhan," imbuhnya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani meminta pemerintah mencermati daya beli kelas menengah ke bawah. Sebab, menurutnya, penurunan daya beli terjadi pada kelompok masyarakat tersebut.
Hariyadi berharap, pemerintah memberikan stimulus untuk mengerek daya beli kelas meÂnengah ke bawah.
"Laporan produsen seperti Unilever dan Mayora, untuk baÂrang produksi konsumsi menunÂjukkan penurunan penjualan," ungkap Hariyadi. ***
BERITA TERKAIT: