Head Of Department Media Centre AMTI Hananto Wibisono mengatakan, pemerintah di nota keuangan meramal produksi rokok turun 3 persen buat kesÂeluruhan 2017. Padahal, sampai dengan Juli volume produksi rokok turun 4,6 persen.
Menurut dia, dalam tiga tahun terakhir industri rokok pertumÂbuhannya stagnan. Bahkan, pada tahun lalu, produksi tokok turun 6 miliar batang. Akibatnya target cukai pun tidak tercapai.
Di tahun ini, volume produkÂsi masih terus turun. Sampai tengah tahun sudah turun 5,4 persen. Kalau cukai dinaikkan lagi tahun depan makin berat untuk industri
"Pemerintah mau untung malah bakal buntung," ujar Hananto kepada
Rakyat MerdeÂka di Jakarta, kemarin.
Untuk membantu industri sehat lagi, diharapkan tidak ada kenaikan cukai tahun depan. Toh, pemerintah dalam kurun waktu dua tahun terakhir sudah menaikkan cukai tinggi. Pada 2016, tarif cukai naik 15 persen. Sedangkan, pada tahun ini naik 10,5 persen.
Lebih jauh lagi, kata Hananto, kenaikan tarif cukai rokok akan menyuburkan pertumbuhan rokok ilegal. Berdasarkan studi dari beberapa universitas di dalam negeri, lanjutnya, perdagangan rokok ilegal telah mencapai 11,7 persen dari produksi nasional dengan tingkat cukai saat ini.
Kondisi tersebut tentu konÂtraproduktif dengan upaya pemerintah mengendalikan konsumsi rokok, peningkatan penerimaan negara, dan perÂlindungan tenaga kerja. "MesÂtinya pemerintah melakukan ekstensifikasi target penerimaan cukai selain hasil tembakau. Rencana pungutan cukai plastik dijalankan, jadi tidak cuma cukai dari rokok, alkohol saja yang terus dikejar," tegasnya.
Hananto mengimbau, agar peÂmerintah hati-hati dan kompreÂhensif jika ingin menaikkan tarif cukai rokok. Selain itu, pemerÂintah perlu mempertimbangkan dampak yang dapat ditimbulkan terhadap seluruh mata rantai inÂdustri tembakau nasional, mulai dari petani, pekerja, pabrikan, pedagang, dan konsumen.
Saat ini, lebih dari 6 juta rakyat Indonesia yang menggantungkan penghidupannya pada industri tembakau. Terdiri dari sekitar 2 juta petani tembakau dan pekerÂjanya, sebanyak 1,5 juta petani cengkeh dan pekerjanya, 600 ribu tenaga kerja pabrik rokok, dan 2 juta pedagang.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau MakaÂnan dan Minuman (FSP RTMM) Sudarto, menilai beban cukai yang semakin besar akan memÂpercepat kemunduran industri.
"Kebijakan cukai yang eksesif telah menyebabkan industri hasil tembakau merumahkan para pekerjanya lantaran adanya penurunan produksi. Sepanjang 2013-2015 lalu, ada sekitar 20.000 karyawan kehilangan pekerjaan," papar Sudarto.
Menurut dia, bila pemerintah membatalkan kenaikan tarif cuÂkai pada 2018, maka bisa mereÂdam penurunan kinerja IHT seÂhingga dapat menjaga stabilitas tenaga kerja di Indonesia. "Kami memohon kepada pemerintah untuk benar-benar mempertimÂbangkan nasib tenaga kerja denÂgan cara tidak menambah beban industri tembakau nasional," tutup Sudarto.
Untuk diketahui, penerimaan bea dan cukai di RAPBN 2018 dipatok Rp 194,1 triliun. Khusus target setoran dari cukai sebesar Rp 155,4 triliun dan salah saÂtunya berasal dari penerimaan cukai hasil tembakau ditargetkan Rp 148,2 triliun.
"Biasanya kan memang secara reguler ada penyesuaian tarif setiap tahun," tegas Direktur Jenderal Bea dan Cukai KemenÂterian Keuangan Heru Pambudi
Menurutnya, pemerintah suÂdah memperhitungkan kenaikan tarif cukai rokok pada target penerimaan cukai di tahun deÂpan. Sementara untuk besaran dihitung berdasarkan inflasi 3,5 persen dan pertumbuhan ekonoÂmi 5,4 persen pada 2018.
"Yang dijadikan pertimbanÂgan, yakni inflasi dan pertumbuÂhan," kata Heru. ***
BERITA TERKAIT: