Kepala BPS Kecuk SuhariÂyanto mengungkapkan, aksi investor sangat dipengaruhi oleh cara pandangnya terhadap perekonomian global, perekonoÂmian domestik, hingga kondisi politik. Menurutnya, menjelang pesta demokrasi, menjaga stabilitas politik sangat penting untuk menjaga kerja ekonomi.
"Kalau politiknya aman-aman, investor akan dengan senang hati melakukan investasi. Tetapi kalau dia merasa uangnya tidak aman, ya sudah uangnya ditaruh di bank," kata Kecuk di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, saat ini masyarakat kelas menengah ke atas cenderung menahan konsumsinya dan mengalihkan sebagian pendapatannya ke tabungan karena dipicu pandangannya terhadap ketidakpastian global.
"Mereka tidak yakin dengan kondisi perekonomian. Makanya, pertumbuhan konsumsi pada semester pertama tahun ini hanya melaju 4,95 persen secara tahunan (
year on year/yoy) atau naik tipis dibandingkan periode yang sama tahun lalu 4,94 persen," urainya.
Kecuk menuturkan, pergelaran hajat politik sejatinya bisa menÂdorong kinerja perekonomian. Sebab, biasanya menjelang pemilu, konsumsi masyarakat naik. Hal itu terlihat dari pemiÂlihan kepala daerah serentak di 101 provinsi maupun kabupaten/kota pada 15 Februari lalu. GeÂlaran tersebut membuat indikator Pengeluaran Konsumsi LemÂbaga Non Profit yang melayani Rumah Tangga (PK-LNRPT) pada kuartal I-2017 tumbuh 8,02 persen secara tahunan atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi sebesar 5,01 persen.
"Jika pemerintah mampu menjaga situasi kondusif, geÂlaran pemilu bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi karena kinerja investasi dan konsumsi terjaga," ungkap Kecuk.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara juga mengingatÂkan pentingnya menjaga iklim politik. Karena, dinamika politik memiliki dampak signifikan bagi perekonomian.
Dia mencontohkan hasil surÂvei konsumen Bank Indonesia (BI) periode Juli 2017. MenuÂrutnya, pada periode itu tercatat ada penghentian belanja semenÂtara dari kelompok masyarakat yang memiliki pengeluaran di atas Rp 5 juta per bulan karena mereka memilih wait and see melihat ekspektasi politik yang kurang baik.
"Mereka rata-rata sedang berÂpuasa dari konsumsi karena meÂlihat enam bulan ke depan meÂmasuki tahun politik, situasinya dinilai kurang membaik. Apalagi untuk sektor investasi," kata Bhima.
Perubahan Pola KonsumsiPemerintah tengah mengkaji dugaan penurunan daya beli masyarakat. Namun demikian, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengimbau agar publik tidak hanya menjadikan ritel sebagai satu-satunya indikator untuk mengukur kemampuan daya beli masyarakat.
Dia menilai, saat ini telah terjadi perubahan pola konÂsumsi. Misalnya, dahulu orang menganggap membeli baju baru merupakan hal yang membanggakan. Namun, sekarang tidak. Orang lebih cenderung membelanjakan uangnya untuk kebutuhan lain seperti rekreasi atau gaya hidup lain.
"Selain itu, kelompok menengah atas mulai makin terÂbiasa belanja pakai online," kata Darmin.
Sayangnya, diakui Darmin, belum ada data yang cukup meÂmadai untuk melihat lebih detail mengenai fenomena tersebut. Padahal, dengan data yang ada, pemerintah dapat menentukan arah kebijakan yang akan diamÂbil selanjutnya.
Darmin mengaku tetap optiÂmistis dengan masa depan ekonomi Indonesia di tengah daya beli yang rendah. Ditambah lagi pertumbuhan ekonomi pada kuarÂtal I dan kuartal II yang relatif daÂtar di angka 5,01 persen. Melihat data tersebut, Darmin menilai, masih realistis untuk meraih perÂtumbuhan ekonomi di angka 5,2 persen hingga akhir tahun.
"Sekarang gini, sebetulnya semester II itu umumnya kegiaÂtan ekonomi lebih tinggi dibandingkan semester sebelumnya. Ya kenapa nggak (realistis). Bisa saja bergeraknya tidak langsung 5,4 persen, tapi kemudian makin tinggi, dan seterusnya," pungkasÂnya. ***
BERITA TERKAIT: