Khalayak netizen heboh membahas surat Kapolri kepada para Kapolda soal perlunya izin Kapolri atau Kabid Propam Polda terkait, apabila penyidik KPK, Kejaksaan atau pengadilan, melakukan tinÂdakan hukum penggeledahan, peÂnyitaan dan masuk ruangan Mako Polri.
Netizen heboh membahas sejumÂlah tautan berita tentang surat teleÂgram tertanggal 14 Desember 2016 itu. Diberitakan, Kapolri melalui Kadiv Propam Polri mengeluarkan surat telegram bernomor KS/BP-211/XII/2016/DIVPROPAM.
Pembicaraan netizen tentang surat tersebut, di antaranya, ramai di meÂdia sosial Twitter. Misalnya, akun @dikdikfitra mengingatkan bahwa setiap warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum, termasuk anggota Polri, "Tak ada pengecualÂian!!"
Akun @leoagian berpendapat, tindakan hukum penggeledahan dan penyitaan oleh penyidik tidak perlu mendapat izin atau persetujuan inÂdividu atau pimpinan institusi yang akan ditindak.
"KPK itu
super power untuk kaÂsus korupsi. Siapapun yang terlibat korupsi, kolusi dan nepotisme harus diusut, tanpa harus mendapat izin pimpinan instansinya!" cuitnya.
Akun @kopral1224 menilai, surat telegram tersebut bisa dinilai mempersulit KPK, Kejaksaan atau pengadilan, menindak anggota Polri dan menyita barang bukti di ruangan Mako Polri. "Lah, kalau Kapolri ngÂgak kasih izin gimana?"
Netizen menilai surat telegram tersebut sebagai langkah mundur dalam sektor penegakan hukum. "Semoga birokrasi yang menyesatÂkan tidak menimbulkan kerugian dimana-mana," sindir netizen @ DieanAiiu.
Senada disampaikan netizen @ syarifh240960, "Di satu sisi izin Kapolri perlu, di sisi lain mungkin bisa menghambat gerak cepat penÂegak hukum lain untuk mendapatkan barang bukti."
Topik ini juga ramai dibahas neÂtizen pengguna Facebook. Seperti akun Diandrias Kurnilwansyah meÂminta institusi penegak hukum lain tidak mempedulikan surat Kapolri. "Harus ada yang berani tangkap oknum siapapun penyelenggara negara ini, baru adil. Jangan takut," harapnya.
Akun Arief Hutomo khawatir surat Kapolri mempersulit KPK, Kejaksaan dan Pengadilan mengusut kasus korupsi yang melibatkan oknum anggota Polri, "Jadi dengan adanya 'ulasan' tersebut, mana SOP yang akan dipegang sebagai 'acuan' oleh KPK???"
Akun FajriHakim meminta Kapolri membatalkan surat telegram tersebut. "Dibatalin aja pak Kapolri. Kalau izin dulu, bisa dibawa kabur barang buktinya," pintanya.
Selain khalayak netizen, kritik juÂga disampaikan oleh peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Easter.
Dia menilai surat edaran Polri itu dapat memicu ketegangan antar penegak hukum. Surat tersebut seolah-olah memposisikan Polri di atas penegak hukum lain.
"Rasanya tidak perlu ada surat tersebut. Jangan sampai telegram ini memicu ketegangan lagi di antara aparat penegak hukum. Karena yang kami pahami, teleÂgram ini memposisikan seolah-olah polisi levelnya di atas aparat penegakan hukum lain," ujar Lalola di Kantor ICW, Jakarta.
Lalola mengingatkan, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kini cukup baik mengatur penggeledahan dan penyitaan oleh aparat penegak hukum, yakni, harus seizin ketua pengadilan negeri.
Maka itu, kata Lalola, pihaknya mempertanyakan motif Kapolri meÂnyampaikan surat tersebut kepada jajarannya.
"Pasal 33 ayat 1 dan 38 ayat 1 KUHAP, misalnya, mewajibkan izin ketua pengadilan negeri bagi aparat penegak hukum melakukan pengÂgeledahan dan penyitaan. Kenapa perlu izin Kapolri lagi?" kata dia.
Karena itu ICW mendesak surat tersebut ditarik atau dibatalkan. "Kapolri sebaiknya membatalkan telegram ini," desaknya.
Secara terpisah, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Kombes Rikwanto mengatakan, arahan Kapolri terseÂbut sebenarnya sudah lama berlaku. Namun, baru belakangan kembali ditegaskan oleh Polri bahwa harus ada izin Kapolri untuk penggeledaÂhan anggota Kepolisian.
Agar setiap penggeledahan anggota Polri harus ada pendampÂingan oleh Divisi Propam atau Divisi Hukum Polri. "Karena ada beberapa kejadian yang langsung (geledah), dampaknya ke organÂisasi. Muncul pertanyaan anggota Polri gini-gini di media massa, kok kita nggak tahu ada masalah," jelas Rikwanto. ***
BERITA TERKAIT: