Dalam kurun terbentuknya pemerintahan baru, kitapun menambah instrumen sosial ekonomi melalui terbentuknya dua Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yaitu, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua-duanya sama penting dalam upaya menjamin kelangsungan kesejahteraan masyarakat. Namun, berbarengan dengan bonus demograsi yang dinikmati bangsa Indonesia, akan dikupas menyangkut instrumen sosial ekonomi, BPJS Ketenagakerjaan.
Sebagaimana diketahui, sistem jaminan sosial diyakini memiliki kemampuan menawarkan dampak buruk yang timbul dari perilaku perekonomian yang
kebablasan. Sayangnya, tema tentang jaminan sosial jarang disinggung dalam upaya menstabilkan ekonomi. Selama ini, instrumen yang digunakan hanyalah pajak, isu-isu tentang jaminan sosial bisa menjadi penawar mensejahterakan kehidupan sosial masyarakat yang terdampak akibat hegemoni modal besar. Padahal, dalam berbagai kasus terjadinya krisis ekonomi, tema jaminan sosial akan muncul. Sebut saja, ketika terjadinya krisis di Inggris, setelah berakhirnya perang dunia. Yang terbaru, ketika terjadi krisis moneter tahun 1998, tema jaminan sosial mencuat sebagai penawarnya. Pembahasannya terus bergulir hingga disahkan UU SJSN tahun 2004. Semua itu membuktikan tema jaminan sosial merupakan instrumen yang ampuh sebagai penawar terjadinya ekses-ekses negatif ekonomi.
Di lain pihak, kita pun mengetahui banyak manfaat dibalik program jaminan sosial terutama kontribusinya bagi perekonomian nasional. Kontribusi dana yang terhimpun, dalam sistem jaminan sosial, tak kalah dengan instrumen investasi yang dihimpun sektor perbankan. Dengan partisipasi iuran dan dana pengembangan dari 40 juta pesertanya, dana yang terhimpun itu pun potensial sebagai sumber modal pembangunan berasal dari dalam negeri yang bisa menggerakkan pembangunan infrastruktur. Disamping itu, melalui pelaksanaan yang baik dan benar-benar dari sistem jaminan sosial, cita-cita negara kesejahteraan yang sudah lama dirindukan bisa terealisasikan dalam kehidupan bersama.
Bonus DemografiBelakangan ini salah satu isu kependudukan yang kita hadapi, Indonesia tengah menikmati bonus demografi. Sebuah negara dikatakan mengalami bonus demografi jika dua orang penduduk usia produktif (15-64) menanggung satu orang tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan 65 tahun atau lebih).
Indonesia, menurut perhitungan, sudah mengalami bonus demografi sejak tahun 2012, dan puncaknya terjadi tahun 2028-2030. Indonesia tengah berada dalam momentum bonus demografi
(demographic devidend) dimana populasi penduduk usia produktif (usia 15-65 tahun) menjadi lebih dominan. Itu artinya kita memiliki generasi produktif yang lebih besar proporsinya dari keseluruhan jumlah masyarakat. Bonus demografi terjadi jika jumlah penduduk di atas 65 tahun, dibandingkan totalnya tidak lebih dari 7 persen. Untuk diketahui, posisi saat ini, usia produktif yang ada sudah melebihi 50 persen dari total penduduk.
United Nation of Population Fund (UNFPA) mengungkapkan, jika
demographic devidend ini dapat dimanfaatkan akan berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi suatu bangsa, dengan kata lain berpengaruh positif terhadap pengurangan angka kemiskinan. Argumentasi sederhana dengan tingginya usia produktif, ekonomi suatu negara terdampak positif akibat tingginya aktivitas konsumsi dan produktivitas. Dengan banyaknya usia produktif, tersedia angkatan kerja yang cukup mendukung industrialisasi. Dengan adanya usia produktif, terdapat kesempatan perputaran uang baik lewat investasi maupun transaksi lainnya. Kita pun bisa menyaksikan bagaimana pertumbuhan perekonomian Indonesia mencapai pertumbuhan tinggi yaitu 5,18 persen dalam kuartal II tahun 2016.
Saat ini struktur kependudukan Indonesia, memiliki sumberdaya manusia di bawah 15 tahun yang cukup banyak dan potensial. Bicara bonus demografi, sebenarnya bicara potensi, dimana jika tidak dikelola, bonus itu pun akan hilang. Karena bonus demografi pun tidak gratis. Sebagai misal, jika angkatan usia 15-65 tahun, tapi mereka tidak produktif dan tidak berpartisipasi dalam sistem ketenagakerjaan, kesempatan yang ada terbuang percuma. Karena ketika para pekerja yang dalam usia produktif itu masuk ke dalam sistem, mereka bisa membangun negara, berpartisipasi membayar pajak dan berpartisipasi dalam sistem jaminan sosial.
Sebaliknya, jika dalam momentum bonus demografi itu tidak berbuat apa-apa, kesempatan yang ada bakal berlalu dan saatnya justru menjadi beban yang besar. Karena kelompok-kelompok umur masyarakat pun akan bergeser, mereka yang berada di usia produktif 15-65 tahun nantinya bergeser menjadi usia paruh baya dan menjadi usia lanjut 80 tahunan. Kalau usia paruh baya dan lanjut usia jauh lebih besar dari usia produktif, situasinya tidak akan menjadi efektif dan justru membebani negara. Karena itu, bonus demografi mesti pula diikuti dengan persiapan dini menjelang hari tua.
Nah, disinilah terdapat titik singgung antara bonus demografi yang tengah dinikmati dengan pengelolaan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan. Para pekerja yang masih dalam usia produktivitas itu perlu diperkenalkan secara dini terhadap program jaminan sosial ketenagakerjaan terutama terkait dengan program Jaminan Hari Tua (JHT) maupun Jaminan Pensiun (JP) dalam mempersiapkan hari tuanya.
Dari perspektif perusahaan, sebenarnya sistem jaminan sosial dapat merangsang tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang masih sangat rendah. Data International Labour Organization (ILO) 2009 menempatkan Indonesia di posisi 83 dari 124 negara. Rendahnya produktivitas kerja di Indonesia, disebabkan oleh tingginya angka kemiskinan. Padahal, produktivitas menjadi elemen penting dan strategis sebagai faktor penentu jangka panjang terhadap daya saing dan kesejahteraan di era globalisasi. Tantangan utama Indonesia saat ini maupun ke depan, bagaimana meningkatkan produktivitas yang masih rendah. Tak bisa dipungkiri, selama ini ada kesan program jaminan sosial, membebani perusahaan. Karena itu, banyak perusahaan kurang menaruh perhatian keikutsertaan pekerjanya dalam program jaminan sosial. Padahal, melalui pemberian sistem jaminan sosial diyakini memberikan kenyamanan bagi pekerja yang akan mendorong passion meningkatkan kontribusi yang lebih besar dengan menjaga kelangsungan produksi perusahaan. Mengingat sebagian iuran jaminan sosial justru akan terjamin oleh kondisi finansial perusahaan yang sehat dan kuat.
Pemerintah pun dituntut menerapkan kebijakan dan strategi nasional yang mampu menggerakkan peningkatan produktivitas. Jika tidak, tenaga kerja Indonesia semakin jauh tertinggal dengan negara lain. Terkait masalah ini, kepastian regulasi dari pemerintah bagi pekerja akan memberikan dorongan tersendiri membangkitkan semangat atau sikap mental para pekerja melaksanakan tugas-tugasnya yang ditunjukan kegairahan bekerja secara lebih baik dan produktif. Dalam ilmu manajemen, tenaga kerja adalah
resources paling berharga. Hanya dengan tenaga kerja yang penuh percaya diri, nyaman bekerja, sehat, mampu menjalankan tugasnya dan memberikan produktivitas optimal.
Namun, dibalik upaya menguatkan sistem jaminan sosial, kita pun mengetahui, keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) 60/2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang isinya pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah tidak bekerja atau sebulan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Keluarnya PP 60/2015 itu, dimanfaatkan para pekerja untuk ramai-ramai mencairkan dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang filosofinya dimaksudkan perlindungan hari tua pekerja bersangkutan jika sudah tidak bekerja lagi.
Kontan sejak keluarnya aturan PP 60/2015 tercatat lima persen pekerja yang mengundurkan diri dan mencairkan program Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan, kembali bekerja atau dari 110.751 peserta, sejumlah 13 persen (14.294 pada periode September 2015-Juni 2016) diantaranya kembali bekerja di perusahaan yang sama. Data itu menjelaskan, fenomena bahwa pekerja tersebut sebenarnya tidak berhenti bekerja sebagaimana disyaratkan mencairkan JHT. Sisanya, mereka bekerja di perusahaan lain, sehingga tabungan masa tua dihabiskan di usia produktif, sementara tabungan itu diperuntukkan sebagai "pegangan" di masa pensiun nanti.
PP Nomor 60/2015 yang membuka peluang pekerja menarik simpanan Jaminan Hari Tua (JHT) sewaktu-waktu dengan alasan berhenti bekerja, bukan hanya merusak tatanan struktur jaminan sosial melindungi pekerja yang menapaki usia tidak produktif. Tapi, ketentuan itu menumbuhkan konsumerisme yang berujung penyalahgunaan tabungan hari tua pekerja. Karena, umumnya, mereka yang menarik dana JHT adalah pekerja berusia produktif di bawah 35 tahun.
Atensi keluar masuk bekerja terus meningkat, sehingga tidak baik untuk produktivitas. Ini hanya menumbuhkan konsumerisme yang berujung penyalahgunaan dana Jaminan Hari Tua (JHT). Berdasar data yang dihimpun, dari sekitar 160.000 pekerja, sekitar 20 persen pekerja keluar kerja mengambil JHT untuk kemudian masuk lagi bekerja di tempat yang sama. Adapun 80 persen lainnya, bekerja di tempat yang lain sehingga menimbulkan kerugian bagi si pemberi kerja.
Fenomena yang terjadi, menimbulkan kerancuan dalam struktur jaminan sosial. Karena, di saat para pekerja memasuki usia tua kelak, mereka tidak memiliki lagi tabungan sehingga menjadi beban pemerintah. Syukurlah, kondisi ini tidak berlangsung lama. Karena, baru-baru ini tercapai kesepakatan diantara para
stakeholder bahwa program Jaminan Hari Tua (JHT), baru bisa diambil atau dicairkan setelah peserta BPJS Ketenagakerjaan menjadi peserta minimal lima tahun. Kesepakatan tersebut diambil pemerintah usai rapat tripartit yang dihadiri perwakilan pemerintah, pengusaha dan pekerja di Gedung Kemnaker. Keputusan kesepakatan tersebut ditandatangani Menaker Hanif Dhakiri sebagai perwakilan pemerintah, anggota Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Harijanto dan perwakilan Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB). "Jadi kami secepatnya akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 60/2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang isinya pengambilan JHT dapat dilakukan sebulan setelah tidak bekerja atau sebulan setelah mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK)," kata Hanif.
Hanif beralasan, keputusan itu diambil karena banyaknya pengaduan dari pengusaha dan pekerja sendiri. Salah satunya adalah ada pekerja yang ingin mengambil JHT, bekerja sama dengan pihak perusahaan, membuat berita acara bahwa sang pekerja yang bersangkutan berhenti bekerja. Setelah dia sudah mengambil JHT di BPJS TK baru dia bisa dipekerjakan kembali. "Nah, ini kan tidak benar," kata Hanif. Padahal, pada September 2015, pemerintah menerbitkan dan mengumumkan pemberlakuan PP 60/2015 tentang JHT dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pengambilan JHT. Dua aturan baru tersebut terbit dan berlaku setelah melalui aksi penolakan oleh kaum buruh Indonesia atas ketentuan pengambilan JHT kalau menjadi peserta BPJS TK minimal lima tahun.
PP 60/2015 tentang JHT menggantikan aturan sebelumnya yaitu PP 46/2015 tentang JHT. Isi PP 60/2015 terutama yang berkaitan dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) termasuk mengundurkan diri. Yakni Pasal 26 menyatakan, manfaat JHT wajib dibayarkan kepada peserta apabila peserta mencapai usia pensiun. Maksud dari kata "usia pensiun" di jelaskan dalam lampiran penjelasan yang berbunyi: Pasal 26 Ayat (1) huruf a menyatakan, yang dimaksud dengan "mencapai usia pensiun" termasuk peserta yang berhenti bekerja.
Ada pun syarat pengambilan JHT bagi yang berhenti bekerja akibat dari PHK atau mengundurkan diri diatur dalam Permenaker 19/2015, dimana dinyatakan, persyaratan pengambilan JHT bagi peserta yang terkena PHK dan mengundurkan diri dari perusahaan adalah (1) asli kartu peserta BPJS Ketenagakerjaan (baik PHK atau mengundurkan diri), (2) surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan (mengundurkan diri), (3) bukti persetujuan bersama yang telah didaftarkan di pengadilan hubungan industrial atau penetapan pengadilan hubungan industrial (bagi yang PHK), (4) fotokopi KTP dan kartu keluarga yang masih berlaku (baik PHK atau mengundurkan diri).
Sedangkan pembayaran manfaat JHT dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melalui masa tunggu satu bulan terhitung sejak surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan diterbitkan, sedang untuk PHK terhitung sejak tanggal PHK.
Sebelumnya Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencabut PP 60/ 2015 tentang Perubahan atas PP Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua (JHT). Pasalnya, PP 60/2015 mengatur, pekerja yang berhenti bekerja bisa langsung mengambil JHT-nya di BPJS TK. Padahal UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional mengatur JTH bisa diambil pekerja (peserta) atau ahli warisnya apabila peserta memasuk usia pensiun, mengalami cacat total atau meninggal dunia.
UU 40/2004 Pasal 35 ayat (1) berbunyi, "Jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib". Ayat 2 berbunyi, "Jaminan hari tua diselenggarakan dengan tujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia".
PP 60/2015 Pasal 26 menyatakan, manfaat JHT wajib dibayarkan kepada peserta apabila peserta mencapai usia pensiun. Maksud dari kata "usia pensiun" di jelaskan dalam lampiran penjelasan PP tersebut yang berbunyi: "Pasal 26 Ayat (1) huruf a yang dimaksud dengan "mencapai usia pensiun" termasuk Peserta yang berhenti bekerja".
PP 60/2015 ini mengamanatkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JTT dimana dinyatakan pembayaran manfaat JHT dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melalui masa tunggu satu bulan terhitung sejak surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan diterbitkan, sedang untuk PHK terhitung sejak tanggal PHK.
Plt Ketua DJSN, Andi Zainal Abidin Lulung mengatakan, DJSN sudah dua kali menyurati Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar segera mencabut PP 60/2015 dan kembali memberlakukan PP 46/2016 tentang JHT. "PP 46/2015 sudah sesuai amanat UU 40/2004 dimana JHT diambil apabila pekerja masuk usia pensiun, mengalami cacat total dan atau meninggal dunia," katanya.
Sementara itu, Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan Rekson Silaban yang mewakili pekerja menilai, perlunya komitmen politik yang kuat dalam mendukung BPJS Ketenagakerjaan melaksanakan tugas memberikan perindungan sosial bagi seluruh pekerja. Pasalnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, keluar sejumlah perundangan yang semangatnya justru tidak memperkuat BPJS Ketenagakerjaan, tapi malah mengaburkan.
Menurut Rekson, dari transofmasi BPJS Ketenagakerjaan, intinya ada dua nilai penting yang ditransformasikan. Pertama, terkait dengan transformasi kelembagaan, dimana terjadi perubahan dari BUMN yang berorientasi profit menjadi lembaga publik nirlaba. "Ini tentu saja membutuhkan penyesuaian korporasi. Karena kita betul-betul membangun lembaga bukan lagi mencari profit, tapi bagaimana bisa
full coverage pekerja formal dan informal," terangnya.
Ditambahkannya, disinilah tantangan terbesar BPJS Ketenagakerjaan. Apalagi, jika melihat Road map atau peta jalan
coverage perlindungan sosial bagi pekerja sudah clear, dimana dalam tiga tahun ke depan perlindungan sosial pekerja mesti mengcover 40 juta pekerja. Padahal, sekarang baru mengcover 21 juta pekerja, sehingga dua tahun mendatang rata-rata per tahun mesti tumbuh 65 persen, belum lagi bicara pekerja yang keluar.
Tantangan itu lebih buruk karena dalam beberapa tahun ini, muncul beberapa perundangan yang jauh dari semangat penguatan BPJS, seperti PP Nomor 60/2015 boleh mengambil JHT setelah satu bulan keluar dari pekerjaan, begitu juga dengan PP 70/2015 dimana Aparatur Sipil Negara (ASN) malah mau mengelola JKK dan JKM sendiri yang harusnya menyerahkan pada BPJS Ketenagakerjaan pada 15 September 2016. Sehingga potensi 6 juta kepesertaan ASN hilang. Begitu pula dengan UU nelayan, yang membuat nelayan tidak harus ikut asuransi sosial ke BPJS Ketenagakerjaan.
"Karena itu, komitmen politik semua pihak penting, sehingga perlindungan sosial terhadap pekerja bisa berjalan sesuai target yang diharapkan, bukan hanya di atas kertas tapi bisa benar-benar dirasakan oleh pekerja formal dan informal," tegasnya.
Apalagi, saat ini masih terdapat 105 juta pekerja lebih yang belum tercover program jaminan sosial. Tentu saja, ini bukan pekerjaan yang mudah. Di pundak negara dalam hal ini pemerintah cq BPJS Ketenagakerjaan amanat ini mesti dilaksanakan. Karena, yang mesti digarisbawahi cakupan kepesertaan jaminan sosial tenaga kerja tersebut adalah setiap tenaga kerja, baik yang melakukan pekerjaan di dalam maupun di luar hubungan kerja. Tenaga kerja di luar hubungan kerja (TKLHK) pada umumnya melakukan usaha pada ekonomi informal, dengan ciri-ciri antara lain: berskala mikro, menggunakan teknologi sederhana, menghasilkan produk berkualitas rendah, tempat usaha tidak tetap, mobilitas sangat tinggi, kelangsungan usaha tidak terjamin, jam kerja tidak teratur dan tingkat produktivitas dan penghasilan yang relatif rendah atau tidak tetap. Hingga saat ini, program perlindungan pada tenaga kerja, baru efektif untuk tenaga kerja di dalam hubungan kerja. Sementara tenaga kerja di luar hubungan kerja, yang masih mendominasi angkatan kerja Indonesia, masih belum mendapatkan perlindungan yang memadai. Survei mencatat dalam lima tahun terakhir, proporsi informalitas kegiatan ekonomi di Indonesia cukup tinggi dan besarannya relatif tetap, yaitu sekitar 70 peren dari total pekerja nasional.
Hal ini sangat memprihatinkan mengingat kegiatan ekonomi sektor informal ini sangat terpapar pada resiko kecelakaan kerja maupun kesehatan. Apalagi, mengingat kemampuan membayar iuran yang terbatas, karena penghasilan tidak teratur dan penghasilan yang tergantung pada musim. Bagaimanapun, para pekerja di sektor informal ini akan merujuk pada pekerja formal. Jika, para pekerja formal belum seluruhnya ikut sistem jaminan sosial, maka hal itu pun akan mengurangi minat mereka. Demikian pula, jika seluruh pekerja formal sudah ikut program BPJS, hal itu pun akan mendorong mereka buat ikut serta.
Untuk itu, perlu mendorong dan merubah
mindset masyarakat yang tidak pernah memikirkan perencanaan keuangan di masa mendatang. Dalam hal ini, perlu disambut baik berbagai upaya BPJS Ketenagakerjaan yang secara drastis melakukan berbagai desain program jaminan sosial mengakomodasi beberapa kondisi yang secara spesifik menjadi karakter pekerja informal sehingga partisipasi mereka yang sudah diwajibkan menurut Undang- undang dapat dijalankan secara optimal, antara lain terkait besaran iuran kontribusi yang sesuai kemampuan mereka dan cara pemungutan yang mudah dan terjangkau.
Hal lain yang mesti digarisbawahi, pelaksanaan program jaminan sosial di Indonesia mesti dilakukan dengan pengelolaan dana yang
prudent. Apalagi, kondisi obyektif di Indonesia memiliki sejumlah kendala. Pertama, terkait registrasi di sektor ketenagakerjaan, terutama masalah data-data. Saat ini terdapat dua kategori pekerja, sektor formal dan non formal di Indonesia. Namun, untuk para pekerja non formal belum bisa teregister. Memang, saat ini mulai dikembangkan NIK (Nomor Induk Kependudukan) di kartu penduduk. Tapi, di kartu penduduk masih belum bisa diketahui, penduduk yang terdaftar produktif atau tidak. Berbeda dengan mereka yang teregistrasi di sektor penerima upah, yang bekerja di swasta, BUMN, PNS yang langsung bisa diketahui masuk dalam pasar tenaga kerja yang produktif.
Apalagi, data-data tentang ketenagakerjaan berpengaruh dalam menentukan proyeksi-proyeksi jaminan sosial. Karena itu, sensus ekonomi yang dilakukan pemerintah yang dinilai sangat membantu, disitu tercantum jumlah tenaga kerja serta jenis pekerjaannya. Apalagi, jika bicara kebijakan ketenagakerjaan, bicara bagaimana memformalkan pekerja yang informal atau mempersiapkan mereka jadi calon-calon pekerja. Karena itu, dalam situasi saat ini, masalah perluasan atau perlindungan jaminan sosial termasuk mempersiapkan penduduk akan hari tuanya, tidak bisa hanya mengharapkan dari BPJS Ketenagakerjaan saja, tapi membutuhkan dukungan semua pihak, termasuk penguatan-penguatan regulasi yang dilakukan pemeritah.
Sebenarnya, sebagaimana ditegaskan Direktur Perluasan Kepesertaan dan Hubungan Antarlembaga Elyas Lubis, program jaminan sosial merupakan program negara, dimana siapapun pemerintahnya harus tetap menjalankan, karena sudah menjadi amanat konstitusi. UU 24/2011 mengatakan jaminan sosial ini merupakan program negara untuk kepentingan kesejahteraan rakyat.
"Ini semua tidak bisa dikerjakan kami (BPJS Ketenagakerjaan) sendiri. Karena puluhan juta peserta jika dibandingkan dengan
resources kami. Karena itu, strategi kita melakukan kolaborasi dengan semua pihak yang bisa membantu peningkatan kepesertaan dan peningkatan layanan," paparnya.
Dengan begitu, pekerja memasuki hari tua sudah pasti punya tabungan. Apalagi kalau punya pensiun. Sehingga tugas negara memberi kesejahteraan warganya lebih terjamin, kalau ikut di sistem jaminan sosial nasional. "Kalau tidak dibentuk sistem ini akan meledak. Kalau tidak ada sistem, hari tua ke depan dengan kecenderungan usia makin panjang, anak muda dengan pola kehidupan tidak berencana, suatu saat mau menghadapi hari tua akan miskin. Nah kalau tidak ditanggulangi sistem dari awal, tidak terbayang negara harus mengurus fakir miskin dan manula-manula yang pasti semakin banyak," kata Ilyas Lubis. Sebaliknya, jika para pekerja itu masuk sistem jaminan sosial nasional SJSN dengan prinsip kemandirian sosial, masyarakat pun nantinya bisa mandiri, punya dana dan modal usaha sendiri serta melakukan kapitalisasi dana sejak umur produktif.
[rus]
BERITA TERKAIT: