Buru Minyak Murah, Pemerintah Lebih Efektif Bikin Diplomasi Bilateral

RI Tak Layak Jadi Anggota OPEC

Senin, 05 Desember 2016, 09:31 WIB
Buru Minyak Murah, Pemerintah Lebih Efektif Bikin Diplomasi Bilateral
Foto/Net
rmol news logo Pengamat energi Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mendukung keputusan pemerintah membekukan se­mentara keanggotaan RI dari organisasi pengekspor minyak (The Organization of Petroleum Exporter Countries/OPEC).

"Keputusan tepat. Saya sudah katakan tidak setuju sejak Indo­nesia bergabung lagi pada awal 2016. Untuk apa jadi anggota OPEC? Sama sekali nggak ada untungnya buat Indonesia," kata Fahmy kepada Rakyat Merdeka, pada akhir pekan.

Bekas Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas tersebut mengatakan, Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak. Sehingga, dari sisi produksi saja sebenarnya sudah tidak pantas menjadi anggota OPEC. Tidak banyak peranan yang bisa dilakukan Indonesia dalam organisasi tersebut. Contoh nyata keputusan OPEC terbaru, anggota diharuskan memangkas produksi. Indonesia tidak bisa mengikutinya. Kalau diikuti, negara ini akan menderita.

Bila alasannya bergabung den­gan OPEC untuk menjalin relasi agar bisa dapat harga minyak murah, lanjut Fahmy, pemerintah cukup memperkuat hubungan bilateral dengan negara penghasil minyak. "Diplomasi minyak murah itu justru lebih efektif melalui kerja sama bi­lateral, bukan menjadi anggota OPEC," cetusnya.

Pengamat energi lain Pri Agung Rakhmanto juga memiliki penilaian serupa. Menurutnya, seba­gai negara net impotir, Indonesia tidak tepat berada di OPEC.

"Indonesia memiliki kepentingan berbeda dengan negara OPEC. Itu contohnya, mereka inginnya produksi dikurangi, kita kan maunya ditambah," terangnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto me­nyebutkan saat ini Indonesia mengimpor tidak kurang dari 50 persen atau sekitar 430 ribu barel per hari kebutuhan minyak mentah untuk pengolahan di kilang nasional.

Dia mendukung pembekuan keanggotaan OPEC. Karena, jika tidak impor minyak mentah akan semakin membengkak.

Dwi mengaku saat ini upaya menggejot produksi terus di­lakukan. Berapa pun kenaikan produksi yang bisa dilakukan sangat berguna untuk menekan impor.

Menurutnya, untuk produksi minyak mentah Pertamina di Ta­nah Air, hingga September 2016 rata-ratanya mencapai 223 ribu barel per hari atau naik 12 persen dari periode yang sama tahun lalu. Pembelian dari KKKS naik menjadi sekitar 12 ribu barel per hari dari tahun lalu hanya sekitar 4 ribu barel per hari.

Keputusan membekukan se­mentara keanggotaan dari OPEC diambil pemerintah dalam Sidang ke-171 OPEC di Wina, Austria, Rabu (30/11). Delegasi pemerintah dalam sidang tersebut dipimpin Menteri ESDM, Ignasius Jonan. Dia memastikan kepu­tusan pembekuan keanggotaan dilakukan untuk mengamankan kepentingan nasional. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

FOLLOW US

ARTIKEL LAINNYA