Menurut dia, hal tersebut menjadi sebuah ironi dan tidak sesuai dengan amanah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang mengamanatkan kekayaan alam Indonesia dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakÂmuran rakyat.
Tragisnya lagi, dari total luas lahan hutan di Indonesia, perizinan pengelolaan 34 juta hekÂtare atau 30 persen di antaranya justru diberikan kepada korporat, milik 25 orang konglomerat.
"Padahal idealnya negara daÂlam hal ini BUMN (Badan Usaha Milik Negara) hadir mengelola sekitar 30 persen, kemudian 40 persennya diberikan hak kelolanya kepada masyarakat," kata Siti di Jakarta.
Siti mengungkapkan, untuk memberi keadilan yang proporÂsional bagi masyarakat, pemerintah Jokowi-JK ingin mengÂhadirkan negara dalam politik sumber daya alam (SDA) dengan cara negara campur tangan daÂlam persoalan politik ekonomi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
"Salah satunya adalah baÂgaimana menekankan pengendaÂlian SDA di bawah pengawasan negara," ujarnya.
Namun, kata dia, untuk menerapkan kebijakan alokasi SDA pemerintah telah berkomitmen mengalokasikan Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta hektare kepada rakyat. Namun hal ini bukan persoalan mudah. Sebab, untuk mewujudkan itu diperÂlukan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), teknologi dan pendanaan kepada masyarakat.
"Tapi kita akan telah berkomitÂmen untuk terus bekerja karena langkah ini menjadi upaya penting dalam membangkitkan dan mewujudkan Indonesia yang berdaya saing serta berkekuatan di atas kaki sendiri," jelas Siti.
Kerja keras ini, menurut dia, didasari keinginan Presiden Jokowi yang ingin agar hutan untuk kesejahteraan rakyat, seÂhingga hak-hak masyarakat atas tanah dapat diakomodir pada pemanfaatan ruang kawasan hutan untuk pengusaha hutan skala kecil (masyarakat) melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
"Selain itu, pengakomodiran bisaa dilakukan pada Hutan Kemasyakaratan (HKm) dan Hutan Desa. Sedangkan kawasan untuk non kehutanan disiapkan untuk Hutan Rakyat Kemitraan," terangnya.
Sementara itu, untuk upaya memberdayakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bisa diÂlakukan dengan membuka akses legal melalui pemberian izin pemanfaatan kawasan hutan atau izin pemanfaatan hasil hutan kayu atau bukan kayu serta izin pemanfaatan jasa lingkungan hidup (ekowisata, keanekaraÂgaman hayati, penyerapan atau penyimpanan karbon).
"Kegiataannya dapat diusahakan untuk kegiatan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian," kata dia.
Adapun pemberdayaan ekonomi rakyat pedesaan di sekiÂtar hutan, menurut Siti, akan dilakukan melalui berbagai pendekatan. Sepertii kebijakan distribusi akses pengelolaan atau pemanfaatan HTR agar masyarakat yang sudah siap berwirausaha.
Selain itu juga memanfaatkan HKm yang ditujukan untuk masyarakat yang belum berdaya dari sisi lahan maupun modal dan kemampuan wirausahanya masih perlu ditingkatkan.
"Sementara pemanfaatan Hutan Desa ditujukan untuk mendukung pembangunan desa sekitar hutan secara mandiri; Kemitraan antara pengusaha besar pemegang izin usaha denÂgan masyarakat sekitar hutan," ujarnya.
Menurut Siti, izin HKm dan Hutan Desa dapat diberikan di Hutan Produksi dan Hutan Lindung dengan jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang, sedangkan izin HTR di Hutan Produksi dengan jangka waktu 60 tahun dan dapat diperpanjang.
"Selanjutnya, setelah soal perizinan itu, untuk menstimuÂlasi keberdayaan masyarakat sekitar hutan, disamping dengan pemberian akses terhadap lahan hutan juga ditunjang dengan dana pinjaman bergulir dimana setiap kelompok masyarakat diberi akses untuk mendapat pinjaman dengan bunga rendah," katanya. ***
BERITA TERKAIT: